Rabu, 22 Juli 2009

JURNAL GPP EDISI JULI 2009

Hapuskan Kekerasan Seksual
terhadap Perempuan dan Anak

Pada bulan Oktober 2003, Gerakan Peduli Perempuan (GPP) Jember me-realise tingginya kasus perkosaan di Jember, dan didokumentasikan antara lain oleh Jurnal Perempuan sbb: “Selamat Datang di Negeri Perkosaan” demikian bunyi spanduk yang dibentangkan oleh sejumlah aktivis GPP (Gerakan Peduli Perempuan) sebuah lembaga swadaya masyarakat yang peduli dengan persoalan perempuan di Jember Jawa Timur. Spanduk itu dibentangkan dalam setiap aksi mereka yang menuntut DPRD Jember untuk lebih memperhatikan masalah-masalah kekerasan terhadap perempuan yang tinggi di Jember. Data yang dihimpun oleh Gerakan Peduli Perempuan di Jember dari berbagai pemberitaan media massa, menyebutkan selama enam bulan terakhir, ada 70 kasus kekerasan terhadap perempuan. Dari 70 kasus tersebut terdiri dari 14 kasus perkosaan yang terjadi dalam rumah tangga, 31 kasus perkosaan yang terjadi diluar rumah tangga, 21 kasus kekerasan non perkosaan dan 4 kasus kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga buruh migran. Usia korban kekerasan dari mulai usia 6 hingga 55 tahun. Sementara itu pelaku kekerasan terdiri dari ayah kandung, tetangga, tokoh masyarakat, ayah tiri, pacar, pengasuh ponpes dan sebagainya. (Jurnal Perempuan, 18 Oktober 2003).

Saat ini bulan Juli 2009, enam tahun telah berlalu dari peristiwa tersebut, Bupati dan DPRD telah berganti pejabat, Polisi, Jaksa dan Hakim mungkin sudah pula dijabat petinggi-petinggi baru. Namun realitas seolah membentangkan tangan menyambut tamu pada Bulan Berkunjung ke Jember tahun ini dengan salam , “Selamat Datang di Negeri Perkosaan Jilid II”.
Kekerasan terhadap perempuan adalah perwujudan ketimpangan historis dalam hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan dan merupakan hambatan yang bersifat struktural bagi tercapainya keadilan sosial, perdamaian dan pengembangan diri yang berkelanjutan (Komnas Perempuan).

Salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terus dan makin menggejala akhir-akhir ini adalah kekerasan seksual. Kekerasan seksual adalah segala bentuk kekerasan, baik fisik maupun psikologis, yang dilakukan dengan cara-cara seksual atau dengan mentargetkan seksualitas. Bentuk-bentuk kekerasan seksual antara lain: pemerkosaan, perbudakan seksual, dan bentuk-bentuk lain kekerasan seksual seperti penyiksaan seksual, penghinaan seksual di depan umum, dan pelecehan seksual. Kekerasan seksual merupakan sebuah pelanggaran terhadap martabat pribadi berdasarkan pasal bersama 3 Konvensi Jenewa.

Perempuan menjadi mayoritas korban kekerasan seksual, meski tidak tertutup kemungkinan laki-laki juga menjadi korban kekerasan seksual walaupun jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan korban perempuan. Misalnya kekerasan seksual terhadap laki-laki yang terjadi di penjara. Perempuan menjadi korban bentuk-bentuk pelanggaran yang lebih spesifik, terkait dengan stereotipe seksual yang dilekatkan pada perempuan. Kekerasan seksual terhadap perempuan dapat didefinisikan sebagai manifestasi dari kekuatan dan kekuasaan terhadap semua aspek terkait seksualitas perempuan.

Menurut analisa Marx, masyarakat non komunis terbagi dalam dua divisi yaitu kelas penguasa (ruling class) dan kelas yang dikuasai (ruled class). Kelas penguasa melanggengkan kekuasaannya dengan melanggengkan sistem sosial status quo dan mengharuskan semua patuh dan tunduk secara sukarela atau dipaksa. Kelas penguasa memproduksi norma/ definisi yang dipaksakan terhadap masyarakat melalui hegemoni yang dilegitimasi dengan menggunakan ajaran agama bahkan dipaksakan dengan menggunakan kekuatan aparat negara. Pada saat ini kelas penguasa/ status quo dengan ideologi patriarkhi dan kapitalisme mengkosntruksi perempuan sebagai kelas yang dikuasai untuk kepentingan kelas penguasa yang notabene laki-laki. Kepentingan utamanya adalah untuk melanggengkan kekuasaan dan melipat-gandakan capital. Perempuan dengan segala yg melekat padanya, tubuh bahkan seksualitasnya ditundukkan, dikuasai dan dieksploitasi, dijadikan barang komoditi. Kasus perkosaan, perdagangan perempuan, pelanggaran HAM dan eksploitasi pekerja seks serta bentuk kekerasan seksual yang lain merupakan manifestasi dari kekuatan dan kekuasaan kelas penguasa. Motif tersebut tampak sangat jelas pada kasus-kasus perkosaan masal di wilayah konflik/ DOM, dimana aparat menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan. Kesaksian korban menunjukkan bahwa perempuan sering mengalami pemerkosaan pada saat operasi militer berlangsung dan bahkan menjadi praktik yang umum terjadi bahwa perwira-perwira militer memaksa perempuan muda, dengan ancaman langsung ataupun tidak langsung terhadap diri mereka, keluarga, dan masyarakat mereka, untuk hidup dalam situasi perbudakan seksual. Dalam situasi ini, yang kadang-kadang berlangsung selama bertahun-tahun, perwira militer memperkosa perempuan yang ada dalam kekuasaannya, hari demi hari. Dalam sejumlah kasus, perempuan “diteruskan” oleh perwira yang bersangkutan kepada yang menggantikan atau kepada perwira lain. Semua ini tidak hanya ditolerir oleh perwira dan pejabat atasan, tetapi bahkan dianjurkan. Komandan-komandan dan pejabat-pejabat juga terlibat (Pemerkosaan, perbudakan seksual, dan bentuk-bentuk lain kekerasan seksual, http://www.ictj.org/static/Timor.CAVR.Indo, diakses 9 Juli 2009)

Demikian juga jika kita cermati kasus2 eksploitasi pekerja seks di lokalisasi prostitusi yang kebanyakan dikuasai/ dimiliki/ dilindungi aparat. Bisnis ilegal berupa beking judi, prostitusi, perdagangan narkoba, dan aktivitas kriminal lainnya sejalan pula dengan bisnis pengamanan. Hal itu jamak di lakukan oleh prajurit sampai para komandan TNI (Bisnis Militer : Antara Manfaat dan Biang Masalah, http://kontras.org/, diakses 9 Juli 2009)
Perilaku dan motif kekerasan seksual yang dilakukan oleh Negara beserta aparatnya tersebut memberi pengalaman dan memberikan legitimasi kepada masyarakat bahwa hal tersebut adalah benar dan diperkenankan. Maka kemudian masyarakat secara luas baik berkelompok maupun perorangan mengadopsi dan mereproduksi bahkan turut mengembangkan perilaku dan motif kekerasan seksual terhadap perempuan yang berada dalam lingkup kekuasaannya/ wilayahnya.

Kekerasan seksual terhadap perempuan muncul dalam berbagai bentuk. Namun pada kesempatan ini GPP akan menyoroti kasus perkosaan dan pencabulan terhadap perempuan dan anak dengan pertimbangan bentuk kekerasan tersebut berdampak sangat berat sepanjang kehidupan perempuan dan akhir-akhir ini cenderung meningkat tajam.

Perkosaan
Hukum Internasional mengenai Konflik Bersenjata secara spesifik melarang pemerkosaan, dan berisi larangan-larangan umum terhadap penganiayaan, termasuk ketentuan ketentuan mengenai “kehormatan”. Kekerasan seksual yang cukup berat, seperti pemerkosaan, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual, dapat dimasukkan sebagai kejahatan terhadap umat manusia jika dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia melarang tindakan pemerkosaan. KUHP juga mempidanakan tindakan membuat seseorang ”membiarkan dilakukan perbuatan cabul”. Pemerkosaan atau penganiayaan seksual berat lainnya dilarang oleh ketentuan-ketentuan dalam hukum hak asasi manusia internasional yang melindungi hak fundamental setiap orang atas integritas fisik dan atas perlindungan terhadap penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak berperikemanusiaan atau yang merendahkan martabat.

Peraturan telah mengatur tentang larangan tindak pemerkosaan, namun pada realitasnya kasus perkosaan selalu saja terjadi. Jika kita simak secara mikro, data dari Jember dan Propinsi Jawa timur berikut ini setidaknya menunjukkan bahwa tindak kekerasan seksual pemerkosaan terus berlanjut dan cenderung meningkat. Lebih tragis lagi karena perkosaan justru banyak dilakukan terhadap anak-anak perempuan. (Haji Rajawali alias Sutrisno Lacurkan anak bawah umur (Prosalina FM, 17 Juni 2009), Taufan memperkosa pacarnya umur 13 th (Prosalina FM, 3 Juli 2009), Hadi Irawan memperkosa 2 siswi SMP (Tempo Interaktif 2009), Bripka Faruk Avero memperkosa anak di bawah umur (Surya, 8 Jan 2009)

Kasus Pemerkosaan Di Jember Meningkat Tajam, dalam sehari, pengadilan negeri Jember bisa menyidangkan 8 kasus pemerkosaan. Bahkan satu jaksa bisa menangani hingga 3 kasus pemerkosaan. Pelakunya bervariasi, mulai dari tukang becak, pemuda, hingga anak seorang kyai, seperti Lora Mahrus Ali, warga Sukowono. Menurut Jaksa Wilhelmina Manuhutu, kasus-kasus pemerkosaan di Jember, setiap tahun terus meningkat. Jika dibanding tahun lalu, sudah naik 30 persen (Prosalina FM, 18 Juni 2009)

Dari data yang dihimpun oleh GPP dari berbagai sumber menunjukkan bahwa sepanjang Januari hingga Juli 2009 setidaknya sudah terjadi 40 kasus perkosaan di Kabupaten Jember.

Erma Susanti, Koordinator Samitra Abhaya-Kelompok Perempuan Pro Demokrasi, di Surabaya, Kamis 27/11/ 2008 menyatakan bahwa selama Januari - Oktober 2008 terjadi 217 kasus pemerkosaan di Jawa Timur. Dari jumlah itu, sekitar 75% pemerkosaan terhadap anak-anak. (http://www.vhrmedia.com/, diakses 9 Juli 2009)

Tersangka perkosaan menikahi korban perkosaan. Waspadai!!!

Pasca terjadinya perkosaan, perempuan sebagai korban perkosaan pada umumnya mengalami beberapa jenis kekerasan lainnya. Karena masyarakat yang patriarkhis cenderung menyalahkan perempuan korban perkosaan, dianggap genit, menggoda, sudah ternoda, tidak suci lagi dll. Hal tersebut memojokkan korban dan keluarganya sehingga menerima (bahkan meminta) pertanggungjawaban pemerkosa untuk menikahi korban agar stigma “ternoda” bisa terhapus. Dalam hal ini sebetulnya justru perempuan dijadikan korban kekerasan kembali. Karena pada banyak kasus, menikahi korban seringkali hanya demi kepentingan pemerkosa untuk meringankan hukuman pemerkosa. Bahkan pada sebuah kasus di Jember, pemerkosa menikahi korban untuk meringankan hukuman, dan setelah keluar penjara pemerkosa tersebut membawa istrinya untuk diumpankan kepada beberapa laki-laki lain.


Nikahi korban perkosaan, hukuman lebih ringan. Budi Trilaksono alias Abah, pemuda 23 tahun dari Desa Pakusari, hari ini didudukan sebagai terdakwa kasus perkosaan anak di bawah umur. Budi dituntut tiga tahun penjara, denda Rp. 60 juta sub sider dua bulan kurungan. Budi diduga kuat memperkosa korban bersama empat temannya. Diantaranya Sidi Al-Wahyudi. Tuntutan terhadap Budi lebih ringan karena dia sudah menikahi korban di lembaga pemasyarakatan (Prosalina FM, 9 Juli 2009)

Tersangka Pemerkosaan Menikah di Tahanan. Habibullah, asisten dosen di Universitas Jember yang menjadi tersangka kasus pemerkosaan anak di bawah umur, menikahi korbannya di tahanan Mapolres Jember. Habibullah menikahi korbannya sebagai bukti ia bertanggungjawab atas perbuatannya. Ia berharap jaksa penuntut umum menjadikannya bahan pertimbangan sehingga bisa meringankan hukuman. Sebab persoalan tersebut sudah selesai dengan pernikahan. (Prosalina FM, 7 Mei 2008)

Rekomendasi:
1. Amandemen KUHP agar lebih berpihak pada perempuan korban perkosaan
2. Implementasikan UU KDRT, UU perlindungan anak, UU No.7 th 1984 CEDAW secara maksimal
3. Kepolisian (penyidik), hendaknya lebih peka terhadap hak-hak perempuan dan pro aktif dalam mengumpulkan bukti – bukti kasus perkosaan
4. Kejaksaan dalam mengajukan dakwaan terhadap pelaku hendaklah lebih didasarkan pada keadilan gender dan memperhatikan hak-hak perempuan korban perkosaan/ pelecehan
5. Pengadilan hendaknya lebih peka terhadap hak-hak perempuan sehingga putusan – putusannya lebih adil pada perempuan korban perkosaan dan pelecehan
6. Masyarakat hendaknya memberi dukungan kepada perempuan dan anak korban perkosaan/ pelecehan, tidak memberi stigma buruk.

-----;-----;-----(@



PERSAMAAN HAK BAGI PEREMPUAN YANG MELAHIRKAN DAN ANAK YANG DILAHIRKAN DILUAR PERKAWINAN
(TINJAUAN YURIDIS UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999)

Oleh

Dian Ety Mayasari, SH., MHum
Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Katolik Darma Cendika Surabaya
demasari2006@yahoo.co.id


Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mendefinisikan perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 1). Dalam ikatan perkawinan tersebut diinginkan adanya kehadiran anak untuk melengkapi kebahagiaan keluarga. Namun realitas menunjukkan bahwa sejumlah anak dilahirkan di luar ikatan perkawinan orang tuanya, misalnya pada kasus perkosaan, pergaulan bebas remaja, kekerasan terhadap perempuan (penipuan) dan trafficking. Dan biasanya apabila ada anak yang terlahir di luar perkawinan bukan perlindungan yang diberikan kepadanya, melainkan cemooh dan bahkan dikucilkan dengan alasan ia adalah anak haram, anak tidak sah yang dilahirkan oleh perempuan pendosa dan pezinah. Dalam tulisan ini akan dibahas bagaimana perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan yang melahirkan dan anak yang dilahirkan diluar perkawinan dan apakah ada diskriminasi pengaturan hak bagi mereka di dalam hukum di Indonesia?

Hak-hak perempuan yang melahirkan di luar perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 menyebutkan bahwa perempuan yang mengandung dan melahirkan anaknya dalam status belum terikat perkawinan mempunyai hak untuk hidup dalam lingkungan yang baik dan sehat (pasal 9 ayat 3). Sedangkan pada pasal 12 menentukan bahwa perempuan yang mengandung dan melahirkan anak di luar ikatan perkawinan tetap berhak untuk memperoleh perlindungan bagi pengembangan kepribadiannya, untuk memperoleh pendidikan apabila masih berada dalam usia sekolah, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggungjawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera.

Cemooh, ejekan, atau bahkan dikucilkan dari keluarga dan masyarakat disekitarnya justru bisa membuat jiwa perempuan yang belum terikat perkawinan namun sudah mengandung dan melahirkan anak tersebut merasa tertekan dan ketakutan, sehingga tidak mempunyai rasa aman dalam menjalani hidup. Padahal dalam pasal 30 ditentukan setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.

Hak-Hak Anak Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999


Setiap anak sejak dalam kandungan mempunyai hak yang melekat pada dirinya, mendapatkan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik secara fisik maupun mental Pengertian hak anak diatur dalam pasal 52 ayat (2), bahwa hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungannya. Sangat disayangkan sekali apabila anak yang lahir diluar perkawinan tidak dapat menggunakan hak yang ia miliki sejak ia di dalam kandungan, padahal di dalam peraturan hukum di Indonesia tidak ada pembedaan pengaturan hak antara anak yang lahir dalam perkawinan maupun anak yang lahir diluar perkawinan.

Hak yang melekat pada anak diatur dalam bab kesepuluh pasal 52 sampai pasal 66 ketentuan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dapat dirinci bahwa setiap anak mempunyai hak, yaitu :
a. Hak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara (pasal 52);
b. Hak hidup, mempertahankan kehidupan, meningkatkan taraf kehidupannya, dan berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan, (pasal 53);
c. Hak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus bagi anak cacat fisik dan atau cacat mental, (pasal 54);
d. Hak beribadah menurut agamanya, berfikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya, (pasal 55);
e. Hak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri, (pasal 56);
f. Hak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau wali, (pasal 57);
g. Hak memperoleh perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik dan mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual , (pasal 58);
h. Hak untuk tidak dipisahkan dengan orang tua atau keluarganya, (pasal 59);
i. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya. Selain itu setiap anak berhak mencari, menerima, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan (pasal 60);
j. Hak untuk beristirahat, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan dirinya (pasal 61);
k. Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial yang layak (pasal 62);
l. Hak untuk tidak terlibat dalam peristiwa peperangan, sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, dan peristiwa lain yang mengandung unsur kekerasan(pasal 63);
m. Hak memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, (pasal 64);
n. Hak memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotik, psikotropika dan zat aditif lainnya(pasal 65);
o. Hak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi, hak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.

Apabila anak dirampas kebebasannya maka ia berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya. Selain itu anak juga berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku, berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum (pasal 66).

Pengaturan mengenai hak-hak anak ini selain ada dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, juga ada di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam bab I Ketentuan Umum pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 hanya memberikan keterangan mengenai anak terlantar, anak yang menyandang cacat, anak yang memiliki keunggulan, dan anak angkat, tidak ada keterangan mengenai anak yang lahir didalam maupun diluar perkawinan. Dengan demikian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 memberikan perlindungan bagi semua anak tanpa ada pembedaan anak yang lahir didalam maupun diluar perkawinan. Hak-hak anak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 antara lain sebagai berikut :
a. Hak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari tindakan kekerasan dan diskriminasi (pasal 4);
b. Hak atas sesuatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan (pasal 5);
c. Hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang tua (pasal 6);
d. Hak mengetahui, dibesarkan, dan diasuh orang tua. Bagi anak terlantar juga berhak untuk diasuh atau diangkat orang lain (pasal 7);
e. Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual (pasal 8);
f. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka perkembangan pribadi dan kecerdasan sesuai dengan minat bakatnya. Bagi anak cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa dan bagi anak yang memiliki keunggulan berhak memperoleh pendidikan khusus (pasal 9);
g. Hak untuk menyatakan dan didengarkan pendapatnya (pasal 10);
h. Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luangnya, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri (pasal 11);
i. Berhak mendapat rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial bagi anak cacat (pasal 12);
j. Hak mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik secara ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya (pasal 13);
k. Hak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali ada alasan yang demi kepentingan anak (pasal 14);
l. Hak memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, dan pelibatan dalam peperangan (pasal 15);
m. Hak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Anak berhak memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum (pasal 16);
n. Bagi anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk mendapatkan perlakuan secara manusiawi, penempatan yang dipisahkan dari orang dewasa, memperoleh bantuan hukum atau bantuan lain yang efektif dalam setiap tahap upaya hukum yang berlaku, membela diri, dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan (pasal 17) ;
o. Anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya (pasal 18).

Kesimpulan


Dari uraian tersebut diatas dapat diketahui bahwa di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tidak memberikan pembedaan dan tidak ada perlakuan diskriminasi dalam memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan yang melahirkan dan anak yang lahir diluar perkawinan. Memberikan cemooh, ejekan, dan pengkucilkan dari keluarga dan masyarakat terhadap perempuan yang melahirkan dan bagi anak yang lahir diluar perkawinan tidak bisa menyelesaikan masalah yang ada, terlebih bagi anak yang tidak tahu apa-apa.

Sebagai warga negara yang baik, seharusnya apabila ada perempuan yang melahirkan diluar perkawinan harus dilindungi hak-haknya dengan cara memberikan pendampingan bagi perempuan tersebut agar bisa mendidik anaknya dengan baik karena anak adalah generasi penerus bangsa, apabila ibunya bisa mendidik dengan baik maka akan menghasilkan anak yang berkualitas baik juga. Sedangkan bagi anak yang lahir diluar perkawinan, maka hak-hak hidupnya harus dilindungi agar ia merasa aman, nyaman, dan dapat tumbuh berkembang dengan baik, bisa berguna baik masyarakat, bangsa, dan Negara (Dian, Juli 2009)


Anak Belajar dari Kehidupan untuk Membentuk Dirinya
Jika anak dibesarkan dalam suasana permusuhan, mereka akan belajar untuk berseteru.
Jika anak dibesarkan dalam ketakutan, mereka belajar menjadi menjadi tidak berpengharapan.
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang, mereka akan belajar menyayangi diri sendiri.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, mereka tumbuh sebagai pemalu.
Jika anak dibesarkan dengan kedengkian, mereka belajar iri hati.
Jika anak dibesarkan tanpa penghargaan, mereka tumbuh dalam rasa bersalah.
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, mereka akan belajar untuk percaya diri.
Jika anak dibesarkan dalam toleransi, mereka akan belajar kesabaran.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, mereka akan belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan penerimaan, mereka akan belajar mencintai.
Jika anak dibesarkan dengan penghargaan, mereka akan belajar untuk mencintai dirinya.
Jika anak dibesarkan dalam suasana berbagi, mereka akan belajar kedermawanan.
Jika anak dibesarkan dengan kejujuran, mereka akan belajar bersikap sebagaimana adanya.


------;-----;------(@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar