Minggu, 14 Juni 2009

MEDIA COVERAGE JUNI 2009

TEMPO Interaktif, Jum'at, 05 Juni 2009 14:29 WIB
Kaum Ibu Diajak Hijaukan Lingkungan
TEMPO Interaktif, Jember: Aktifis Gerakan Peduli Perempuan Jember, Jawa Timur, mengajak masyarakat, khususya kaum perempuan, aktif menghijaukan lingkungan. Ajakan itu disampaikan dalam aksi damai memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia di Bundaran Jalan Kalimantan dan halaman kantor DPRD Jember, Jawa Timur, Jumat (5/6).
Mengenakan pakaian serba putih, dan untaian daun serta rumput warna hijau di kepala, para aktifis perempuan itu menyebarkan pamflet ajakan kepada masyarakat Jember. Menurut Koordinator GPP Jember, Ifana Ro'aelta, aksi simpatik yang mengusung tema "Bumiku Ibuku" itu untuk mengajak seluruh elemen masyarakat Jember menjadikan bumi sebagai Ibu yang harus dicintai dan dirawat dengan baik. "Kami ajak khususnya kaum Ibu memelopori penghijauan lingkungan, dan semua elemen masyarakat mencintai bumi seperti mencintai seorang Ibu," katanya.Dalam catatan GPP Jember, selama ini sudah banyak kerusakan lingkungan yang terjadi di Kabupaten Jember. "Tahun 2008 lalu, Kecamatan Bangsalsari dan Tempurejo terendam air," katanya.
Di tahun 2009 ini, lanjutnya, banjir bandang juga terjadi di Kecamatan Silo yang merendam 17 rumah. Sedangkan di Kecamatan Kencong terjadi banjir yang merendam ratusan rumah selama beberapa hari.
"Pemkab Jember masih belum optimal untuk menjaga lingkungan sehingga kerusakan kawasan hutan dan kawasan konservasi menjadi penyebab bencana," katanya.Untuk itu, GPP Jember memberikan sejumlah rekomendasi kepada Pemerintah Kabupaten Jember, agar bertindak tegas terhadap proyek yang mengancam kerusakan lingkungan seperti penambangan di Kecamatan Silo dan pembalakan liar di kawasan hutan konservasi. (MAHBUB DJUNAIDY)
Antara biro Jawa Timur, 5 Juni 2009
GPP Aksi Damai Peringati Hari Lingkungan Hidup
Jember - Gerakan Peduli Perempuan (GPP) Jember menggelar aksi damai dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia di halaman kantor DPRD Jember, Jawa Timur, Jumat.Koordinator GPP Jember, Ifana Ro'aelta, mengatakan, GPP Jember mengangkat tema Bumiku Ibuku di Hari Lingkungan Hidup, dengan tujuan mengajak seluruh elemen masyarakat Jember untuk menjadikan bumi ini sebagai ibu yang harus dicintai dan dirawat dengan baik."Kami imbau semua elemen masyarakat mencintai bumi seperti mencintai seorang ibu," kata Ifana.Ia menjelaskan, banyak kerusakan lingkungan yang terjadi di Kabupaten Jember dalam beberapa tahun terakhir sehingga terjadi bencana banjir dan tanah longsor di sejumlah kecamatan di Kabupaten Jember."Tahun 2008 lalu, banjir terjadi di Kecamatan Bangsalsari yang merendam puluhan rumah dan Kecamatan Tempurejo yang merendam ratusan rumah," katanya menerangkan.Di tahun ini, kata dia, banjir bandang juga terjadi di Kecamatan Silo yang merendam 17 rumah yang rusak berat sedangkan di Kecamatan Kencong terjadi banjir yang merendam ratusan rumah selama beberapa hari."Saya menilai, Pemkab Jember masih belum optimal untuk menjaga lingkungan sehingga kerusakan kawasan hutan dan kawasan konservasi menjadi penyebab bencana," katanya.Untuk itu, kata dia, GPP Jember memberikan sejumlah rekomendasi kepada Pemkab Jember antara lain Pemkab Jember harus bertindak tegas terhadap proyek yang mengancam kerusakan lingkungan seperti penambangan di Kecamatan Silo dan pembalakan liar yang terjadi di kawasan hutan konservasi."Saya berharap, seluruh elemen masyarakat Jember menjaga lingkungan agar bencana tidak terjadi lagi di Jember," katanya berharap.Data yang dihimpun GPP Jember dari Kantor Lingkungan Hidup Jember menyebutkan jumlah anggaran untuk program pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sebesar Rp417.516.000,00, program perlindungan dan konservasi Sumber Daya Alam (SDA) Rp79.191.250,00, program peningkatan kualitas dan akses informasi sumber daya alam Rp52.196.000,00 dan program pengendalian polusi Rp86.800.500,00.Dengan demikian, kata dia, total anggaran untuk perlindungan lingkungan di Jember cukup tinggi mencapai Rp635.704.350,00."Saya prihatin dengan besarnya anggaran untuk lingkungan hidup, namun kenyataannya masih banyak kawasan hutan yang gundul," katanya menjelaskan.
Zumrotun Solicha
Finroll News, Saturday, 06 June 2009 03:53
ROUND UP - BERAGAM CARA MEMPERINGATI HARI LINGKUNGAN HIDUP SE-DUNIA
Beragam cara dan ekpresi dilakukan berbagai pihak di beberapa daerah di Jawa Timur dalam memperingati Hari Lingkungan Hidup Se-Dunia, Jumat.
Surabaya, 5/6 (Roll News) - Beragam cara dan ekpresi dilakukan berbagai pihak di beberapa daerah di Jawa Timur dalam memperingati Hari Lingkungan Hidup Se-Dunia, Jumat. Mereka ada yang melakukan aksi unjuk rasa, aksi damai, keprihatinan, saran dan harapan, "Radio Hijau", keprihatinan "limbah domestik" dibuang langsung di sungai, hingga rasa syukur atas keberhasilan Jatim meraih "juara umum" Adiwiyata. di Kabupaten Jember, Gerakan Peduli Perempuan (GPP) setempat menggelar aksi damai di halaman kantor DPRD Jember. Koordinator GPP Jember, Ifana Ro`aelta, mengatakan, pihaknya mengangkat tema "Bumiku Ibuku" di Hari Lingkungan Hidup, dengan tujuan mengajak seluruh elemen masyarakat Jember untuk menjadikan bumi ini sebagai ibu yang harus dicintai dan dirawat dengan baik. "Kami imbau semua elemen masyarakat mencintai bumi seperti mencintai seorang ibu," kata Ifana berharap. Ia menjelaskan, banyak kerusakan lingkungan yang terjadi di Kabupaten Jember dalam beberapa tahun terakhir, sehingga terjadi bencana banjir dan tanah longsor di sejumlah kecamatan. "Tahun 2008, banjir terjadi di Kecamatan Bangsalsari yang merendam puluhan rumah, dan di Kecamatan Tempurejo yang merendam ratusan rumah," katanya menerangkan. Di tahun ini, banjir bandang juga terjadi di Kecamatan Silo yang merendam 17 rumah, sedangkan di Kecamatan Kencong terjadi banjir yang merendam ratusan rumah selama beberapa hari. "Saya menilai, Pemkab Jember masih belum optimal untuk menjaga lingkungan, sehingga kerusakan kawasan hutan dan kawasan konservasi menjadi penyebab bencana," katanya. Untuk itu, GPP Jember memberikan sejumlah rekomendasi kepada Pemkab Jember, antara lain pemkab harus bertindak tegas terhadap proyek yang mengancam kerusakan lingkungan, seperti penambangan di Kecamatan Silo dan pembalakan liar yang terjadi di kawasan hutan konservasi. "Saya berharap, seluruh elemen masyarakat menjaga lingkungan, agar bencana tidak terjadi lagi di Jember," katanya. Data yang dihimpun GPP Jember dari Kantor Lingkungan Hidup Jember menyebutkan, jumlah anggaran untuk program pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sebesar Rp417.516.000,00. Sementara untuk program perlindungan dan konservasi Sumber Daya Alam (SDA) Rp79.191.250,00, program peningkatan kualitas dan akses informasi sumber daya alam Rp52.196.000,00 dan program pengendalian polusi Rp86.800.500,00 Dengan demikian, kata dia, total anggaran untuk perlindungan lingkungan di Jember cukup tinggi, mencapai Rp635.704.350,00. "Saya prihatin dengan besarnya anggaran untuk lingkungan hidup, namun kenyataannya masih banyak kawasan hutan yang gundul," katanya. Sementara itu, Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan (AMPL) Malang Raya menilai, Kota Malang telah melakukan 10 penodaan terhadap lingkungan yang ada di daerah itu. Menurut juru bicara AMPL Malang Raya, Wiwid Tuhu Prasetyanto, penodaan lingkungan yang dilakukan Kota Malang, di antaranya pengeksploitasian ruang terbuka hijau (RTH) dan keberadaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) pada setiap pembangunan hanya untuk memenuhi formalitas belaka. Selain itu, izin-izin eksploitasi RTH dipermudah, kota adalah ruang terbuka beton, `Kota Adipura-pura`, nilai keteladanan lingkungan politisi dan birokraynya rendah, etika bisnis rendah, lingkungan hanya dimaknai sebagai penanaman pohon, anggaran prolingkungan rendah dan "Good Governance" hanya "pemanis bibir". Penodaan terhadap lingkungan yang dilakukan Pemkot Malang tersebut ditulis rapi dan oleh AMPL, dan dikirimkan ke "Malaikat Penjaga Neraka" melalui Kantor Pos Besar Malang dengan tembusan pada "Tuhan YME", DPRD Kota Malang dan Wali Kota Malang. Sebelum belasan anggota AMPL tersebut menuju kantor pos besar Malang, mereka melakukan aksi unjuk rasa dengan menggelar berbagai poster yang mengecam pemerintah terhadap tindakannya mengeksploitasi RTH, di depan Pendopo Pemkab Malang. "Kami sudah tidak tahu lagi bagaimana cara mengingatkan para politisi yang sekarang menjadi wakil rakyat di gedung dewan dan para birokrat, agar tidak lagi mengeksploitasi RTH untuk kepentingan pengusaha. Berbagai cara sudah kami lakukan, tapi mereka tetap tutup mata bahkan berlagak tuli," katanya. Satu-satunya cara yang sekarang bisa dilakukan AMPL, adalah menulis surat pengaduan dan keluh kesah pada para `malaikat` yang mungkin bisa memberikan teguran langsung pada para pengambil kebijakan. "Kami ini rindu dengan bentuk-bentuk bangunan yang mencerdaskan, seperti museum, taman teknologi atau apa saja yang tidak menjadikan kami `hedonisme`, tetapi menjadikan kami memiliki hati," kata Wiwid lirih. Menyinggung penghargaan tertinggi bidang kebersihan dan lingkungan yang diraih Pemkot Malang, Wiwid justru mempertanyakan kriteria penilaian oleh panitia pusat, sebab kondisi riil di Kota Malang jauh dari kata bersih dan bebas dari pelanggaran lingkungan. "Sebenarnya layak tidak ya Pemkot Malang mendapatkan Piala Adipura, sebab kondisi lingkungannya sudah parah. Jadi Piala Adipura ini kalau menurut saya hanya bersifat formalitas politik semata, bukan karena prestasi nyata," katanya. Masih dari Kota Malang, sebagian warga kota berhawa sejuk itu tetap menjadikan sungai bahkan tanah tegalan (kebun) sebagai "Water Close (WC)" untuk membuang "limbah domestiknya". Data yang dirilis dari hasil survei "Environmental Health Risk Assesment (EHRA)" menyebutkan, dari total sampel yang diteliti sebanyak 2.280 yang tersebar di 57 kelurahan, 347 di antaranya masih menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan limbah domestiknya. Menurut konsultan EHRA, Risang Rimbatmaja, survei tersebut dilakukan sejak Febrauri 2009 dan berakhir akhir April 2009. Survei dilakukan dengan memberikan sejumlah daftar penyataan terkait sanitasi di rumah masing-masing dan lingkungan sekitarnya. Dari ratusan warga yang masih membuang limbah domestiknya ke sungai, persentase tertinggi terdapat di Kelurahan Kidul Dalem Kecamatan Klojen yakni mencapi 78 persen. Selain itu, kata Risang, beberapa kelurahan juga tercatat sebagai penyumbang pencemaran air sungai tertinggi yakni Kelurahan Kotalama 52,5 persen, Ketawanggede 50 persen dan Tasikmadu 40 persen. Ia mengakui, data yang dihimpun oleh 114 "surveyor" di 57 kelurahan tersebut masih belum final dan akan dicek ulang. "Dengan mengetahui data awal seperti ini, paling tidak sebagai dasar pembenahan sistem sanitasi di Kota Malang," katanya. Apalagi, ujarnya, bakteri Ecoli dari kotoran manusia yang masuk ke sungai sangat berbahaya bagi kesehatan warga masyarakat. "Mau tidak mau, kebiasaan dan tradisi warga membuang limbah domestik di sungai atau tegalan yang `katanya` sulit ditinggalkan itu secara perlahan harus dihentikan," katanya. Oleh karena itu, Pemkot Malang juga harus memikirkan dan mencari solusi teknologi yang tepat untuk memperbaiki sistem sanitasinya termasuk bagaimana "menuntun" masyarakat yang tidak bisa meninggalkan tradisi buang air besar di sungai itu bisa "menikmati" sanitasi yang tidak lagi mencemari sungai. "Kita memang harus kerja keras untuk mengampanyekan pada masyarakat, agar mulai belajar tidak buang besar di sungai terutama masyarakat yang belum bisa meninggalkan budaya dan kebiasaannya ke sungai," kata Risang. "Radio Hijau" Sedangkan di Kabupaten Sumenep, Madura, Radio Republik Indonesia (RRI) setempat menggelar kegiatan bertajuk "Radio Hijau", untuk memperingati Hari Lingkungan Hidup Se-Dunia. Kepala Lembaga Penyiaran Publik (LPP) RRI Sumenep, Arianti Retno Astuti, menjelaskan, sejak beberapa waktu lalu, pihaknya mengintensifkan siaran radio berupa ajakan bagi warga untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. "Siaran bertema ajakan pelestarian lingkungan hidup sebenarnya sudah kami lakukan sejak dua tahun lalu," katanya di Sumenep. Ia menjelaskan, siaran berupa ajakan bagi warga untuk melestarikan lingkungan hidup di sekitarnya, adalah salah satu wujud kepedulian RRI guna mewujudkan lingkungan yang bersih dan hijau. "Kami berusaha menggugah dan meningkatkan kesadaran warga untuk menjaga lingkungan hidup, karena pelestrian lingkungan hidup adalah tanggung jawab bersama," katanya. Sebagai rangkaian kegiatan "Radio Hijau", kata Arianti, pada hari Sabtu (6/6), pihaknya akan menyerahkan ratusan bibit pohon cemara pada paguyuban pendengar RRI, agar ditanam di sekitar rumah mereka. "Kami sengaja memilih pohon cemara udang, karena merupakan salah satu tanaman ciri khas Sumenep," katanya. Ia berharap, semua kegiatan yang dikemas dalam program "Radio Hijau" tersebut bisa mendorong warga untuk selalu menjaga kelestarian lingkungan hidup di sekitarnya. Kabar "gembira" bagi warga Jatim datang dari Jakarta pada peringatan Hari Lingkungan Hidup Se-Dunia 2009 diumumkan peraih penghargaan Adiwiyata Nasional. Untuk penghargaan Adiwiyata, Provinsi Jatim menyabet 33 penghargaan dari total 110 penghargaan Adiwiyata Nasional. Adapun perincian dari 33 penghargaan, yakni empat penghargaan bagi sekolah Adiwiyata Mandiri, 19 sekolah Adiwiyata, dan 10 sekolah Calon Adiwiyata. Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Jatim, Dewi J Putriatni, usai upacara peringatan Hari Lingkungan Hidup Se-Dunia di Istana Negara, menjelaskan, dari perolehan 33 penghargaan tersebut, Jatim dapat dikatakan dominan dalam memperoleh jumlah penghargaan bagi sekolah yang berwawasan dan peduli lingkungan hidup. Dari 110 penghargaan, Jatim telah mendapatakan 33. Artinya, sekitar 30 persen dari total penghargaan Adiwiyata 2008/2009 berlabuh di Jatim, katanya seraya menambahkan, dengan begitu, proses penerapan sekolah berwawasan lingkungan yang kerap digalakkan oleh pihaknya, kini benar-benar menuai hasil yang positif. Adapun sekolah di Jatim yang mendapatkan predikat sebagai sekolah Adiwiyata Mandiri, antara lain SDN Kampung Dalem KabTulungagung, SMPN 1 Kedamaian Kab Gresik, SMPN 4 Gresik Kabupaten Gresik, dan SMA 1 Gondang Kab Mojokerto. Sedangkan sekolah yang mendapatkan Adiwiyata, yakni SD Sumbersono Kab. Mojokerto, SD Tanjungsekar 1 Kota Malang, SDK ST Theresia Surabaya, SMP 1 Dlangu Kab. Mojokerto, SMPN 5 Kota Malang, SMPN 1 Sukodono Lumajang, SMPN Semen Gresik, SMAN 5 Kota Malang, dan SMAN 2 Kota Probolinggo. Untuk sekolah yang masuk calon sekolah adiwiyata terdapat sebanyak 10 sekolah, yakni SD Gemarang VI Kab. Ngawi, SDN Dinoyo II Kota Malang, SDN Kandangan III Surabaya, SMPN 2 Kebomas Kab. Gresik, SMPN 1 Merakurak Tuban, SMAN 1 Wringinanom Gresik, SMAN 10 Kota Malang, SMAN 5 Kab. Jember, SMKN 1 Kota Probolinggo,dan SMAN 1 Geger Kab. Madiun. Ia menambahkan, untuk perolehan Adiwyata Mandiri, Jatim memperoleh jatah 40 persen atau empat dari total 10 penghargaan. Tahun depan untuk Adiwiyata Mandiri Jatim akan ditingkatkan kembali, yakni bagi sekolah yang tahun ini telah mendapatkan Adiwiyata, akan ditingkatkan menjadi Adiwiyata Mandiri. Warga Kabupaten Sumenep, Madura, berharap pemerintah kabupaten (pemkab) menjadikan penghargaan Adipura sebagai sasaran antara, guna mewujudkan kesadaran bersama menjaga kebersihan dan keindahan kota. R. Tadjul Arifin, warga Desa Pangarangan, Kecamatan Kota, menjelaskan, untuk sementara ini, pihaknya menilai pemkab sangat bersemangat mewujudkan wilayah perkotaan yang bersih dan indah, hanya jika mendekati penilaian Adipura. "Kami masih melihat ada kesan seperti itu. Setelah penilaian Adipura selesai, sejumlah sarana penunjang keindahan kota dibiarkan tidak maksimal. Kalau seperti itu, Adipura menjadi sesuatu yang seolah-olah harus diraih," katanya di Sumenep. Padahal, keberhasilan yang substansial dan harus diwujudkan pemkab adalah adanya kesadaran warga secara bersama untuk menjaga kebersihan dan keindahan di lingkungannya masing-masing. Ia menjelaskan, salah satu sarana penunjang keindahan kota yang kurang dimanfaatkan secara maksimal adalah "air mancur" di kawasan Taman Bunga Sumenep. "Air mancur tersebut tidak setiap hari dioperasionalkan, melainkan pada waktu-waktu tertentu saja. Apakah harus menunggu penilaian Adipura, air mancur itu dioperasionalkan. Kalau memang tidak rusak, seharusnya air mancur itu dioperasionalkan setiap hari, karena akan membuat kawasan Taman Bunga lebih sejuk dan indah," katanya berharap. Namun, kata Tadjul, pihaknya tetap merasa bangga dengan keberhasilan Sumenep meraih Anugerah Adipura untuk kategori kota kecil selama dua tahun berturut-turut. "Keberhasilan meraih penghargaan Anugerah Adipura 2008 dan 2009 adalah prestasi. Kami hanya berharap upaya menata kawasan kota yang lebih bersih dan indah, tidak ditujukan semata-mata untuk merebut penghargaan tersebut," katanya. Tadjul menjelaskan, Adipura harus dijadikan sasaran antara guna mewujudkan Sumenep yang lebih indah dan bersih. "Ada atau tidak ada Adipura, pemerintah daerah harus konsisten melakukan program penataan lingkungan hidup, agar warga tergugah dan bersemangat menjaga kebersihan dan keindahan di wilayahnya masing-masing," katanya. (T.PSO-070*E009*PK-DYT/C004) (

V r i j ! - p r o g r e s i f, 2009 June 5
Sikapi Tambang, Mahasiswa Mosi Tidak Percaya Bupati !
JEMBER - Peringatan Hari Lingkungan se-dunia, polemik pertambangan mangan di Kecamatan Silo disikapi dua organisasi. Salah satunya yakni Pimpinan Cabang Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Gerakan Peduli Perempuan (GPP) Jember. Dalam pernyataan sikapnya, PMII menyampaikan mosi tidak percaya pada kepemimpinan bupati Jember MZA Djalal. "Kami juga mendesak agar bupati segera mencabut surat keputusan izin tambang mangan karena telah cacat hukum, kalau tidak maka pemerintahan kabupaten kita nilai gagal dalam pemerintahan dan melakukan pelanggaran konstitusi," kata Ketua PC PMII Jember Abdurahman Bin Auf, kemarin. Dia juga mengatakan, selama ini tambang mangan sudah lama menjadi potensi konflik antara warga yang pro dan kontra. "Kembalikan fungsi lahan disana sesuai aturan yakni sebagai lahan produksi pertanian dan kehutanan, tertibkan penambangan liar," tandasnya. Seperti diketahui, polemik tambang mangan yang dilakukan CV Wahyu Sejahtera di Dusun Curah Wungkal Desa pace Kecamatan membuat ratusan wrga mengentikan paksa sebuah mobil pikap pengangkut tambang. Protes itu dilakukan karena selama ini masih belum ada keptusan kesepakatan pembukaan kembali tambang mangan, meski oleh Pmekab Jember sudah diterbitkan izin eksplorasi tambang.Sedangkan GPP Jember menilai pengalih-fungsian hutan lindung menjadi kawasan pertambangan membuat menyempitnya wilayah kelola rakyat, perempuan kehilangan wilayah kelola, tingginya beban kerja, dan menurunnya pendapatan yang berdampak pada kesehatan, pendidikan dan kekerasan.Pelaksana Harian GPP Jember Ifana Roaita mengatakan, sektor kehutanan saat ini menjadi sektor yang paling menderita akibat eksploitasi sumber daya alam. "Hutan terhimpit oleh perluasan wilayah perkebunan, pertambangan, dan eksploitasi hasil kayu glondongan serta perusakan hutan oleh industri pertambangan, daerah yang bergantung terhadap hasil tambang umumnya mempunyai problem yang mirip," kata Ifana Roaita. Dia menambahkan, ada lima bentuk kekerasan terhadap perempuan terkait perusakan lingkungan diantaranya, perempuan sebagai properti yakni menempatkan perempuan tidak dalam posisi yang penuh untuk mengambil keputusan terhadap dirinya sendiri, misalnya pada pernikahan tanpa surat resmi dan dinikahkan pada usia muda, perempuan sebagai alat pelanggeng reproduksi sosial ketika perempuan keluar rumah untuk bekerja sebagian besar pendapatannya justru dipersembahkan untuk memenuhi kehidupan keluarganya. "Kita minta pemerintah kabupaten bersikap tegas dengan menutup penambangan dan pembalakan liar mengingat besarnya resiko yang ditimbulkannyaserta Melakukan rehabilitasi lingkungan rusak," katanya.GPP Jember juga mendesak adanya alokasi khusus anggaran untuk penanggulangan bencana dan korban bencana alam dan advokasi anggaran perlu diarahkan untuk mengurangi resiko bencana. "Dana DAU dan DAK untuk lingkungan juga perlu diutamakan untuk belanja langsung pengelolaan lingkungan, bukan untuk belanja pegawai dan belanja kantor," desaknya. Terpisah, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jember Haryanto mengatakan, izin eksplorasi tambang mangan di Silo sebenarnya masih ditutup untuk smeentara waktu sampai menunggu aspirasi berkembang di masyarakat. "Saat ini kita membentuk tim independen yang melibatkan dewan untuk melakukan studi kelayakan persoalan tambang disana, sekaligus mencari solusi terbaiknya," kata Haryanto. (p juliatmoko)

Radar Jember, [ Sabtu, 06 Juni 2009 ]
PMII Mosi Tidak Percaya Bupati Djalal
Desak Izin Penambangan Mangan Dicabut JEMBER - Penolakan terhadap tambang mangan kembali disuarakan mahasiswa yang tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Jember. Penolakan tambang mangan tersebut disuarakan bertepatan dengan Peringatan Hari Lingkungan Hidup, kemarin. Dalam pernyataan sikapnya, PMII mendesak Bupati Jember M.Z.A. Djalal untuk mencabut izin penambangan yang diberikan kepada CV Wahyu Sejahtera (WS). Apalagi, CW WS tidak hanya mengantongi izin eksplorasi, tetapi juga izin eksploitasi tambang mangan dari dinas Perindustrian, Perdagangan Energi Sumber Daya Mineral (Disperindag dan ESDM) Pemkab Jember. Ketua PMII Cabang Jember Abdurrahman Bin Auf mengatakan, pihaknya juga melayangkan mosi tidak percaya terhadap kepemimpinan di Jember di bawah Bupati Djalal saat ini. "Kami mendesak Bupati M.Z.A. Djalal untuk mencabut SK disperindag yang cacat hukum," kata Abdurrahman Bin Auf di gedung DPRD Jember, kemarin. Selain itu, pihaknya menuntut agar pemkab mengembalikan fungsi lingkungan sebagaimana mestinya. Salah satunya dengan menertibkan penambangan liar yang bisa merusak lingkungan hidup.Jika tuntutan tak dipenuhi, kata dia, berarti Pemkab Jember telah melakukan pelanggaran terhadap undang-undang. Alasannya, penerbitan SK kuasa penambangan bagi CV WS Nomor 541.3/078/436.314/2008 Tertanggal 17 September 2008 cacat hukum dan melanggar rencana tata ruang wilayah (RTRW) nasional. Dalam RTRW nasional, lanjut dia, Jember bukan termasuk daerah pertambangan. Berdasarkan RTRW nasional, wilayah Selatan Kabupaten Jember berorientasi pada bidang pertanian, perikanan, industri kecil, perdagangan, dan pariwisata. "Di Jember tidak termasuk daerah pertambangan," ungkapnya. Menurut dia, penerbitan izin usaha atau kegiatan penambangan seharusnya tetap memperhatikan RTRW nasional dan memperhatikan pendapat masyarakat setempat. "Banyak warga dan masyarakat Silo yang menolak penambangan mangan," ujarnya. Penerbitan izin, tambah dia, justru kontraproduktif dengan ekologis yang ada di kecamatan Silo. Ini mengingat, selama ini, Kecamatan Silo kerap dilanda bencana banjir dan tanah longsor. Salah satunya bencana yang terjadi pada awal tahun 2009. "Belasan rumah rusak berat akibat tanah longsor," ujarnya. Bahkan, beberapa rumah hanyut diterjang banjir bandang. Atas kondisi itulah, PMII Cabang Jember mendesak Pemkab Jember untuk secepatnya mencabut izin penambangan tersebut. Selain PMII Cabang Jember, Gerakan Peduli Perempuan (GPP) Jember kemarin juga ikut menyuarakan penolakan terhadap tambang mangan. GPP menilai, penambangan mangan akan menambah kerusakan lingkungan di Kecamatan Silo. "Membuka penambangan mangan justru mengundang bencana," tegas Ifana Roaeta, koordinator GPP Jember. Menariknya, untuk menggambarkan penolakan terhadap tambang mangan dan sorotan terhadap beberapa kasus korupsi yang terjadi, empat GPP sempat menggelar aksi diam di depan Gedung DPRD Jember. Dengan memakai ikat kepala terbuat dari berbagai bunga dan daun, empat anggota GPP mengusung beberapa tulisan dalam kertas karton. Isinya, Eksploitasi + Pencemaran x Korupsi = Bencana. (aro)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar