Kamis, 04 Juni 2009

JURNAL GPP EDISI JUNI 2009

BUMIKU “IBUKU”

Di bumi ini terdapat berbagai lapisan kehidupan yang dalam keberlangsungannya saling terkait satu sama lain. Keseluruhan lapisan kehidupan di bumi disebut biosphere. Walaupun manusia merupakan makhluk yg paling maju yang memiliki akal budi dan kehendak bebas, namun manusia hanya merupakan salah satu lapisan kehidupan yang berlangsung di bumi. Manusia dapat mempengaruhi lingkungannya, dan sebaliknya lingkungan juga pasti dapat mempengaruhi manusia. Ketika lingkungan rusak maka kehidupan manusia akan terancam, dan pada akhirnya bisa punah.

Alam yang indah dan lestari merupakan jaminan bagi kelangsungan hidup manusia dan segala lapisan kehidupan yang ada di dalamnya. Untuk menjamin kelangsungan hidup kita dan generasi mendatang diharapkan kita tetap memiliki kehidupan dan lingkungan dalam suasana yang baik dan menyenangkan. Banyak hal yang harus dilakukan untuk menjamin kelangsungan hidup alam semesta. Manusia harus memandang dan memperlakukan alam bukan sebagai sumber kekayaan yang siap dieksploitasi kapan saja dan di mana saja. Karena perubahan yang terjadi pada alam akan berpengaruh pada kehidupan manusia. Lingkungan yang indah dan lestari akan membawa pengaruh positif bagi kesehatan dan keselamatan manusia. Sebaliknya lingkungan yang rusak dan punah akan mengancam kehidupan manusia. Untuk itulah kita wajib menjaga kelestarian lingkungan hiidup kita.

Dalam dunia tradisi relegius dan kultural, perempuan sering dipikirkan dekat dengan alam, alam dilihat sebagai feminism, maka dunia alam disimbolkan sebagai perempuan–Ibu. Selain itu alam sebagai perempuan bijak yang mengatur segalanya. Namun kemudian presepsi tentang alam mengalami perubahan sejarah. Alam lambat laun sudah tidak lagi dalam pemuliaan dan melampaui budaya manusia. Alam kemudian dikontrol dan diekspoitasi tanpa batas seperti halnya otoritas laki-laki yang patriarkhis yang mendominasi kaum perempuan.

Memperinggati hari Lingkungan Hidup Sedunia pada tanggal 5 juni 2009. Jurnal Gerakan Peduli Perempuan (GPP) Jember mengangkat tema Bumiku “Ibuku” untuk mengajak semua pihak yaitu para pengambil kebijakan dan masyarakat luas untuk melakukan refleksi dan rekomendasi serta langkah ke depan guna penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup, penyelamatan kehidupan manusia.

Jember supermarket bencana banjir bandang
Banjir sebenarnya merupakan proses alam yang sifatnya periodik dan siklik. Ketika curah hujan melebihi kapasitas infiltrasi, intersepsi, dan evapotranspirasi, air hujan akan menjadi run off. Jika run off melebihi kapasitas saluran, maka akan terjadi peluapan atau banjir. Banjir bandang (flash flood atau sudden flood) umumnya terjadi pada lereng-lereng curam di daerah perbukitan dan pegunungan dengan curah hujan yang sangat tinggi dalam waktu yang pendek. Jumlah curah hujan (mm atau cm) yang turun ke bumi dalam periode waktu tertentu (jam atau menit) disebut sebagai intensitas hujan dengan satuan mm/menit atau cm/ jam. Banjir bandang ini alirannya sangat cepat dan kuat, sifatnya merusak, dan selalu menimbulkan bencana (Puspita Fitria Rahma Dewi , www.perumperhutani.com/ 20/10/2008)

Bencana alam banjir bandang disertai lumpur terjadi pada tanggal 1dan 2 Januari tahun 2006 di wilayah Pegunungan Hyang Argopuro Kabupaten Jember. Yang disesalkan, banjir bandang di Jember ini sebenarnya bukanlah peristiwa kali itu saja. Tahun-tahun sebelumnya, dan sesudahnya sering terjadi kejadian serupa. Banjir di Jember mengakibatkan sejumlah orang tewas, menghancurkan puluhan rumah, memutus jembatan, merobohkan sekolah, pondok pesantren, merusak perkebunan dan persawahan. Seharusnya banjir-banjir tersebut bisa dijadikan sebagai pelajaran bagi pemerintah dan warga setempat agar kejadian serupa tidak terjadi di kemudian hari. Tapi nyatanya, kiriman banjir yang lebih besar tetap saja datang. Lagi-lagi, warga sendiri yang harus menanggung akibatnya.

Kecamatan Panti 2006: banjir bandang disertai lumpur pada tanggal 1dan 2 Januari tahun 2006 meliputi Dusun Kali Kelepuh Desa Suci, Dusun Kali Putih, dan Dusun Gunung Pasang Desa Kemiri Kecamatan Panti mengakibatkan 76 orang meninggal dunia, 15 orang hilang, 1.900 orang mengungsi dan 36 rumah hanyut, 2.400 rumah rusak, 6 jembatan putus serta 140 ha sawah rusak.
Kecamatan Bangsalsari 2008: Desa Langkap dan Tisnogambar banjir, puluham rumah, empat mushala, satu Kantor Desa Tisnogambar, dan sebuah SDN Tisnogambar 1 terendam setinggi dada orang dewasa, jalan utama Kecamatan Bangsalsari-Kecamatan Tanggul banjir dan macet sepanjang kurang lebih 10 km (Sindo, 20/3/2008)
Banjir campur lumpur melanda desa Langkap hingga merendam ratusan rumah warga. , menggenangi jalan raya antara Desa Gambirono hingga Desa Tisnogambar Bangsalsari. (Radar Jember , 9/12/2008)
Kecamatan Tempurejo, 2008: banjir dengan ketinggian rata-rata 1 meter masih mengenangi sedikitnya 1000 rumah di empat desa yakni Desa Wonoasri, Desa Curah Nongko, Desa Pondok Suto dan Desa Curah Lele, Korban banjir di Jember kekurangan makan (Indosiar.com, 24/3/2008). Petani terancam gagal panen (Detik Surabaya, 22/03/2008)
Kecamatan Tempurejo, 2009: Desa Kraton dan Curah Nongko, banjir Merendam 150 rumah (surya.co.id, 6/1/2009). Desa Temporejo dan Wonoasri diterjang banjir (Tempo, 11/1/2009)
Kec Silo 2009: banjir di desa Pace dan Garahan mengakibatkan 17 rumah warga rusak berat, warga diare, (Kompas, 14 Januari 2009 ). Sejumlah jalan desa tertutup lumpur, sehingga tidak bisa dilalui, jalan Raya Banyuwangi di Desa Garahan,tergenang lumpur sehingga kendaraan menuju Jember-Banyuwangi berjalan merambat
Kecamatan Kencong 2009: desa Kraton dan Paseban banjir merendam ratusan rumah warga. Di desa Paseban sedikitnya 1.700 warga mengungsi ke posko darurat. Sebanyak 430 rumah warga terendam air setinggi satu meter. Desa Kraton, tercatat 255 rumah warga juga terendam air bah. Sekitar 750 warga terpaksa diungsikan. lahan pertanian tercatat 215 ha terendam banjir hingga 1m rusak parah dan tidak bisa dipanen. (Tempo interaktif, 1/2/2009)
Kerugian material akibat banjir yang menimpa delapan desa di empat kecamatan Kabupaten Jember, Jawa Timur, mencapai Rp 8 miliar. Banjir bandang sejak Sabtu (10/1) itu juga memaksa sejumlah warga mengungsi. “Kerugian bisa lebih dari Rp 8 miliar, karena kami masih mendata lagi,” kata Kepala Kantor Informasi dan Komunikasi Kabupaten Jember, Agus Slamet, (Tempo interaktif, 11/1/2009)
Peta daerah rawan banjir/ banjir bandang di Jember

No/ Kecamatan/ Desa
1 Panti / Dusun Kali Kelepuh Desa Suci, Dusun Kali Putih, dan Dusun Gunung Pasang Desa Kemiri
2 Patrang/ Kelurahan Slawu
3 Silo/ Desa Pace dan Garahan
4 Mayang/ Desa Tegalrejo dan Desa Seputih
5 Jenggawah/ Desa Jatimulyo dan Cangkring
6 Kencong/ Desa Kraton dan Desa Paseban
7 Tempurejo/ Desa Kraton dan Curah Nongko , Temporejo dan Wonoasri, Desa Pondok Suto dan Desa Curah Lele,
8 Kaliwates/ Mangli
9 Rambipuji/ Desa Gugut
10 Bangsalsari /Desa Langkap dan Tisnogambar
Dikompilasi oleh GPP Jember dari berbagai sumber
(e + p) k = B

(eksploitasi + pencemaran) x korupsi = Bencana

Banjir di Jember Bukan Bencana Alam: Analisa Pakar hukum lingkungan Dr Suparto Wijoyo menilai banjir bandang di Panti Jember the 2006 bukanlah bencana alam, melainkan bencana ekologi. atau bencana lingkungan yang menuntut adanya pertanggungjawaban dari kepala daerah dan sejumlah kepala dinas antara lain kepala dinas kehutanan (kadishut), kepala dinas tata ruang, kepala dinas pertamanan atau lingkungan, (Harian Analisa, 4/1/ 2006)
Penambangan
Mangan: Daerah Silo terutama desa Pace merupakan daerah rawan banjir dan longsor. Hal tersebut disebabkan karena penggundulan hutan, perubahan peruntukan hutan/ lahan, serta kontur dan tekstur tanah yang miring dan rapuh karena kaya mineral. Pada kondisi seperti ini sudah selayaknya Pemerintah sangat berhati-hati dalam mengelolanya. Dengan membuka penambangan mangan di daerah tersebut justru semakin mengundang bencana. Masyarakat di desa Pace sadar, bahwa jika dilakukan penambangan maka tanah semakin rawan longsor. Namun justru pemerintah yang tampaknya belum mempunyai kepekaan seperti masyarakat. Bahkan ada pejabat public yang menyampaikan pendapatnya di sebuah media massa bahwa tidak masalah menambang di Silo, penambangan tidak akan mengakibatkan banjir, karena setiap tahun di sana memang sudah biasa banjir. Pembusukan kesadaran yang akut.
Pasir: Gumuk Kerang, Kecamatan Sumber Sari. Dampak yang terjadi pada penambangan pasir didaerah ini adalah terjadinya longsoran pada saat hujan. Karena penambangan tersebut bersebelahan dengan perumahan, sehingga perumahan tersebut rawan longsor, selain itu sumber air dalam radius 100 meter mengalami kekeringan pada saat musim kemarau
Gumuk – Perum Tidar Jember, pekerja tambang ini adalah orang – orang dari luar kota. Gumuk dikepres dijadikan perumahan. Saat ini jika hujan turun maka air mengalir deras membawa pasir yang kemudian menumpuk di daerah perumahan.
Penanganan Sampah: Menurut Eddy Mulyono, S.H., M.HUM dalam Penggelolaan Lingkungan ([kampus] sebagai kawasan observasi), sampah merupakan konsekwensi aktifitas manusia yang volume dan jenisnya bergantung pada tingkat konsumsi sehari – hari dan penggolahannya juga bergantung pada penggelolaan gaya hidup masyarakat. Menurut beliau juga pengelolaan sampah selama ini 40% diangkut petugas yang sebagian diangkut ke TPA dan sebagian lagi dibuang secara liar (TPA liar), 5% ditimbun, 5% didaur ulang, 20% dibakar, dan 30% lainnya berada di sungai, jalan, taman, dsb.
Sejak tahun 2002 berdiri TPA (Tempat Pembuangan Akhir) di Desa Kertosari Kecamatan Pakusari yang merupaka TPA terbesar di Kabupaten Jember selain 4 TPA lainnya. Luas TPA Kertosari 5,5 HA dan kini telah bertambah menjadi 6,8 HA. Terdapat 120 orang yang bekerja sebagai pemulung yang 70% nya adalah perempuan. Penghasilan mereka maksimal Rp.5000/hari. Mereka mulai bekerja sekitar pukul 08.00 hingga pukul 15.00 – 15.30. Pada jam itu sampah di TPA diratakan setebal 1m kemudian diuruk dan dipadatkan dengan pasir dan batu yang berasal dari gumuk diarea TPA. Penangganan dengan cara seperti ini disebut juga dengan Sanitary Landfill menggunakan sistem sanitasi. Sampah dipadatkan dengan traktor kemudian ditutup dengan pasir dan batu, Cara ini dapat meminimalkan polusi udara. Di bagian dasarnya dilengkapi dengan saluran leachate yang berfungsi sebagai saluran limbah cair sampah yang harus diolah sebelum dibuang kesungai atau lingkungan lingkungan. Dalam sistem Sanitary Landfill ini selain memerlukan pemantauan yang terus – menerus, kebocoran dalam saluran air juga tidak dapat ditolerir (kontaminasi oleh zat – zat beracun) mengakibatkan pencemaran air. Tingkat pencemaran yang sangat tinggi di area ini berdampak buruk bagi kesehatan, terutama kesehatan reproduksi perempuan.
Ilegal logging: Illegal logging common at Jember national park: Sumarsono, a senior staff member at the national park, said over the weekend that illegal logging cases rose from 42 in 2007 to 64 this year but no measures had yet been taken to stop these illegal activities. (The Jakarta Post, 4/6/2009)

Ketua Abdi MAsyarakat, Moh. Husni Thamrin SH, menegaskan bahwa masih ada sejumlah kasus illegal logging yang belum terungkap secara tuntas di lingkungan TNMB. Sebagai misal salah satu kasus yang diduga kuat melibatkan oknum perwira menengah di Polres Jember. (Radar Investigasi. blogspot.com, 5/3/2009)

Presiden PKS Tifatul Sembiring yakin penyebab musibah banjir bandang di Jember adalah penebangan kayu liar/ illegal logging. Banyak pihak terlibat dalam bisnis ini yang harus diperiksa, termasuk kepala daerahnya. (detikcom, Minggu (8/1/2006)
Korupsi Dana Bencana
Bekas kepala Kantor Pengairan Jember, Soewadi, divonis kurungan setahun oleh Pengadilan Negeri Jember, Senin (9/2), karena menilap dana bantuan bencana alam (penanganan banjir) senilai Rp 2,1 miliar (Tempo Interaktif, 9/2/2009)
APBD Kab. Jember tidak sensitif bencana
Pendapatan
Tabel Pendapatan Asli Daerah dari Penambangan dan Penebangan pohon (APBD Kab Jember 2009)
No Jenis Anggaran Jumlah
1 retribusi ijin pengelolaan penambangan energi: Rp. 30,000,000
2 retribusi ijin penebangan pohon: Rp. 35,000,000
Jumlah Rp. 65,000,000

Belanja
Tabel Belanja untuk penanggulangan dan penangganan bencana
APBD Kab Jember 2009
No Jenis Anggaran Jumlah
Jumlah Rp 0

Pada APBD Kab Jember 2009 menunjukkan bahwa:
Pendapatan:
1. Retribusi pelayanan kesehatan, PKL dan pasar merupakan penyokong terbesar PAD, mengurangi akses orang miskin terhadap layanan dan sumber daya publik.
2. Retribusi ijin usaha yang murah bagi perusahaan ekstraktif meningkatkan kerentanan warga karena kelestarian lingkungan terganggu.
3. Kebijakan pajak Galian C dan retribusi IMB hanya untuk income generating bukan sebagai mekanisme kontrol untuk mengurangi kerentanan.
Belanja:
1. Rendahnya partisipasi warga dalam kebijakan belanja menimbulkan kerentanan karena akses dan control warga terhadap sumber daya public rendah.
2. Kecenderungan pendekatan penanganan bencana yang reaktif (dana tak tersangka) membuat akuntabilitas dana kebencanaan rendah.
3. Beberapa proyek penanggulangan bencana dalam dana tak tersangka justru bukan untuk kedaruratan namun sengaja dimasukkan dalam pos dana tak tersangka agar tidak perlu tender dalam pengadaan barang dan jasanya.
4. Proyek-proyek pembangunan fisik dibangun tanpa analisis resiko bencana yang memadai sehingga menambah ancaman warga.
5. Kebijakan belanja meningkatkan disparitas kesejahteraan warga sehingga menimbulkan ancaman bagi bencana social.
6. Belanja aparat dalam pos anggaran untuk DRR sangat tinggi hingga 70%-80%.
Pembiayaan:
1. Dana utang luar negeri menjadi alternative yang digemari oleh pemerintah daerah untuk rehabilitasi dan rekonstruksi.
Dari table di atas tampak adanya ketidak-berimbangan antara pendapatan daerah dan resiko yang harus ditangung oleh masyarakat akibat dari penambangan dan eksploitasi lingkungan. Dan ironisnya APBD Kab Jember tidak mengalokasikan dana untuk pencegahan dan penanggulangan bencana, selama ini dana penanganan korban bencana diambilkan dari dana tak terduga. Hal ini menunjukkan bahwa APBD Kab Jember tidak sensitive bencana.

Anggaran untuk perlindungan lingkungan hidup (sumber DAU)
Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Jember the. 2009 (sumber DAU)
No Nama Anggaran Jumlah (Rp)
1 Progr pengendalian pencemaran & perusakan lingkungan hidup 417,516,600
2 program perlindungan dan konservasi sumber daya alam 79,191,250
3 Prog peningkatan kualitas & akses informasi sumber daya alam
dan lingkungan hidup 52,196,000
4 Program peningkatan pengendalian polusi 86,800,500
Jumlah 635,704,350

Belanja langsung
No Nama Anggaran Jumlah/ Rp
1 Belanja bibit tanaman untuk peningkatan peran serta
masyarakat dalam pengendalian lingkungan hidup 45,000,000
2 belanja bibit tanaman untuk program konservasi
sumber daya air dan pengendalian kerusakan sumber – sumber air 45,000,000
3 Belanja bibit tanaman untuk penyuluhan dan pengendalian
polusi dan pencemaran 37,500,000
Jumlah 127,500,000

Dari total anggaran perlindungan lingkungan hidup sebesar Rp. 635,704,350, ternyata yang digunakan untuk belanja langsung hanya Rp. 127,500,000 (20,1 %), sementara lainnya dialokasikan untuk pembelian peralatan, alat tulis kantor, makan minum, dan honor karyawan, dll.

Kelompok Rentan Bencana
Ketika terjadi bencana maka kelompok masyarakat yang paling rentan adalah kelompok masyarakat miskin, perempuan, anak, pendidikan rendah, difabel.
PP 02/2008 tentang pengalih-fungsian hutan lindung menjadi kawasan pertambangan membuat menyempitnya wilayah kelola rakyat, perempuan kehilangan wilayah kelola, tingginya beban kerja, dan menurunnya pendapatan yang berdampak pada kesehatan, pendidikan dan kekerasan.

Sektor kehutanan adalah sektor yang paling menderita akibat eksploitasi sumber daya alam. Hutan terhimpit oleh perluasan wilayah perkebunan, pertambangan, dan eksploitasi hasil kayu glondongan serta perusakan hutan oleh industri pertambangan. Daerah yang bergantung terhadap hasil tambang umumnya mempunyai problem yang mirip. Pertumbuhan ekonomi yang rendah akibat lebih banyak mengimpor barang dan sedikit investasi di sektor non-sumberdaya alam. Dan tingkat korupsi yang tinggi diikuti jumlah penduduk miskin yang berlimpah.”

Lima bentuk kekerasan terhadap perempuan terkait perusakan lingkungan:
1. Perempuan sebagai properti. Kondisi ini menempatkan perempuan tidak dalam posisi yang penuh untuk mengambil keputusan terhadap dirinya sendiri, misalnya pada pernikahan tanpa surat resmi dan dinikahkan pada usia muda (12-16 tahun)
2. Perempuan sebagai alat pelanggeng reproduksi sosial, ketika perempuan keluar rumah untuk bekerja sebagian besar pendapatannya justru dipersembahkan untuk memenuhi kehidupan keluarganya. Meskipun perempuan ini memberikan berkontribusi yang signifikan tetapi mereka jauh dari akses, kontrol dan kedaulatan terhadap komunitasnya
3. Pengabaian perempuan berbasis kelas. Di dalam sebuah masyarakat, perempuan sendiri terbagi dalam sebuah kelas sosial. Dalam setiap pengambilan keputusan baik di tingkat komunitas, keluarga maupun keputusan terhadap dirinya sendiri tidak pernah menjangkau perempuan-terutama perempuan dari kelompok sosial paling rendah
4. Intervensi Pasar atau kapital. Sebagai contoh Intervensi pasar mengubah cara pandang perempuan pada tubuhnya sendiri. Di kampung-kampung para perempuan yang telah susah payah mencari uang di kota, justru hasil jerih lelahnya ia pakai untuk membeli krim pemutih karena dalam pandangan perempuan kulit putih itu punya kelas sosial yang lebih tinggi
5. Mengecilkan peran perempuan sebagai penjaga pangan atau kedaulatan pangan. Peran perempuan menjaga ketahanan pangan tidak hanya bagi dirinya tapi juga untuk keluarganya dianggap hal yang remeh dan tidak mendapat penghargaan yang layak. Hal tersebut jelas terlihat di perempuan nelayan. (dialog publik Komnas Perempuan : Temuan Awal, Meretas Jejak Kekerasan terhadap Perempuan dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam, 9/12/2008)

Dampak dari skala besar pertambangan terhadap perempuan
1. Negosiasi perusahaan hanya dilakukan antara kaum pria, membuat perempuan bukan menjadi bagian atau yang mendapat keuntungan dari pembayaran royalti atau ganti rugi. Akibatnya, perempuan kehilangan alat untuk mencari status atau kekayaan yang secara tradisional mereka miliki
2. Perusahaan tidak mengakui adanya hubungan agama atau spiritual perempuan adat dengan lingkungan dan tanahnya, terutama bila mereka dipindahkan untuk kegiatan pertambangan
3. Perempuan biasanya memiliki sedikit atau sama sekali tak ada kekuasaan untuk memperoleh manfaat atas pembangunan pertambangan. Dengan demikian mereka menjadi semakin tergantung pada pria yang lebih mempunyai akses dan mengatur kepentingan ini
4. Peran dan tanggung jawab tradisional perempuan menjadi marjinal karena masyarakat menjadi sangat tergantung pada ekonomi yang berdasarkan uang yang diciptakan oleh pertambangan
5. Beban kerja perempuan meningkat karena pria bekerja di perekonomian berdasarkan uang hasil pertambangan dan perempuan mempunyai tanggung jawab yang lebih besar terhadap rumah tangga dan penyediaan makanan melalui cara tradisional
6. Perempuan memiliki resiko lebih tinggi untuk menderita kemiskinan, terutama rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan
7. Perempuan menanggung tekanan fisik sekaligus mental akibat pertambangan, terutama bila terjadi penggusuran
8. Perempuan menderita atas meningkatnya resiko HIV/AIDS dan infeksi penyakit kelamin lainnya, kejahatan keluarga, pemerkosaan dan prostitusi , sering disebabkan oleh pengaruh penyalahgunaan alkohol dan/atau para pekerja pria
9. Perempuan menderita diskriminasi aktif dan terkadang brutal di tempat kerja daerah pertambangan. (laporan Oxfam CAA, 27/11/ 2008)

Budaya yang berlaku dalam masyarakat kita menempatkan perempuan pada pekerjaan – pekerjaan domestik, mengurus rumah, memasak, dan mencuci. Hingga jika terjadi kekeringan atau kesulitan mendapatkan sumber air yang merasakan dampaknya secara langsung adalah perempuan. Selain itu saat terjadi bencana alam umumnya bantuan yang diberikan oleh pemerintah tidak memasukkan kebutuhan khusus bagi perempuan seperti : pakaian dalam, pembalut, ataupun keperluan melahirkan bagi perempuan korban bencana yang sedang hamil. Hal tersebut kemudian berpengaruh pada terganggunya kesehatan reproduksi perempuan

Pengaruh gender terhadap aspek kerentanan komunitas menghadapi bencana

Peran Gender: Kerentanan
Reproduktif: Perempuan hamil dan menyusui lebih rentan terhadap bencana

Produktif: Akses & kontrol thd aset sosial & ekonomi membuat resistensi perempuan terhadap bencana rendah

Domestik: Beban domestik meningkat ketika bencana.

Publik: Rehabilitasi dan mitigasi bencana yang tidak libatkan perempuan menambah kerentanan

Rekomendasi

Kebijakan lingkungan
1. Pemerintah Kabupaten Jember hendaknya bersikap tegas dengan menutup penambangan dan pembalakan liar mengingat besarnya resiko yang ditimbulkannya
2. Melakukan rehabilitasi lingkungan.

Penganggaran
1. Adanya alokasi khusus anggaran untuk penanggulangan bencana dan korban bencana alam.
2. Advokasi anggaran perlu diarahkan untuk mengurangi resiko bencana.
3. Dana DAU dan DAK untuk lingkungan sebaiknya diutamakan untuk belanja langsung pengelolaan lingkungan, bukan untuk belanja pegawai dan belanja kantor

Partisipasi masyarakat
1. Menggalang kekuatan untuk melakukan kontrol menghalangi penambangan dan eksploitasi lingkungan yang berpotensi merusak lingkungan dan resiko bencana.
2. Berperan aktif dalam upaya pelestarian lingkungan hidup, antara lain dengan mengurangi sampah plastic dan stereofom, melakukan penanaman pohon di sekitar rumah, dll

Tidak ada komentar:

Posting Komentar