Selasa, 21 April 2009

JURNAL GPP EDISI APRIL 2009

PEREMPUAN DI TITIK NADIR

Memperingati hari Kartini yang ke 130 pada 21 April 2009, Gerakan Peduli Perempuan (GPP) Jember melakukan wawancara untuk memotret kehidupan perempuan marginal. Perempuan yang hidup di bawah garis kemiskinan, yang harus berkerja sangat keras untuk bisa bertahan hidup. Perempuan yang bekerja di wilayah 3D (dirty, dangerous, death), pekerjaan yang kotor, berbahaya dan beresiko tinggi menyebabkan kematian
Potret Perempuan marginal di Jember

1. Perempuan pemulung
Mbok Warsi (55 th)
bekerja sebagai pemulung. Setiap pagi berangkat jam 5 pagi dan pulang jam 3 sore tanpa pernah ada hari lubur dari mengais tempat sampah. Hasil penjualan plastik dan kertas bekas yang diperolehnya Rp. 5.000 – Rp.6.000/ hari digunakan untuk biaya hidup bersama seorang cucu kesayangannya. Sang cucu berumur 9 tahun, kadang ikut membantunya mencari barang bekas. Putus sekolah saat kelas 2 SD setahun yang lalu.
Bu Karti (50 th) bekerja sebagai pemulung di tempat sampah kantor-kantor pemerintah. Bekerja mulai jam 7 pagi sampai jam 4 sore dengan penghasilan Rp.2.000 – Rp.5.000/ hari. Penghasilannya digunakan untuk biaya hidup bersama seorang anaknya dan 3 cucu. Sedangkan sang anak juga berprofesi sebagai pemulung

2. Pengemis
Etik (10 th)
berfrofesi sebagai pengemis cilik. Hal tersebut terpaksa dilakukan karena tidak punya biaya untuk sekolah. Murid kelas 4 SD ini setiap pagi sekolah, sore mengaji dan setiap jam 18.00 – 22.00 Etik mengemis di sekitar alun2 dan di pusat pertokoan. Hasil perharinya Rp.8.000 – Rp.13.000 digunakan untuk membiayai kebutuhan keluarga dan biaya sekolah.
Bu Sumi (51 th), warga sempusari Jember, memilih pekerjaan sebagai pengemis berangkat kerja pada jam 7 pagi dan pulang pada jam 3 sore. Penghasilan sehari pada kisaran Rp. 4.000 – Rp.9.000, digunakan untuk biaya hidup sehari-hari

3. Buruh tani
Bu Heni (47 th),
bekerja sebagai buruh tani yang hanya mendapatkan pekerjaan pada musim tanam. Bekerja mulai jam 6 sampai jam 10 pagi dengan upah Rp.10.000/ hari. Tanggungan keluarga 2 anak, suami bekerja sebagai tukang becak yang berpenghasilan tak menentu
Bu Anik (39 th), warga Slawu bekerja sebagai buruh tani borongan bersama kelompoknya, Bekerja mulai jam 6 pagi sampai jam 3 sore dengan upah Rp.20.000/hari. Pekerjaan yang dilakukan kelompok ini mulai tanam sampai memanen.

4. Wlijo/ pedagang sayur keliling
Bu Sami (65 tahun)
, pedagang sayur keliling. Setiap hari berangakat ke pasar Tanjung untuk kulakan pada jam 11 malam, lalu berkeliling menjajakan dagangannya. Sepedanya selalu dituntun karena dia sudah tidak kuat untuk mengayuhnya. Jam 12 siang pulang ke rumah. Penghasilan maksimal Rp.10.000/ hari bahkan pernah tidak laku sama sekali. Penghasilannya untuk membiayai kehidupan keluarganya yaitu seorang anak dan 5 orang cucu. Bu Sami mengaku tidak pernah mendapat BLT.

5. Pe”ngasak” dan Pencari kayu
Bu Semin (65 th)
Janda tinggal sendirian . Berangkat kerja tiap jam 6 pagi dan pulang jam 2 siang dengan penghasilan Rp.15.000/ hari. Bu Semin hanya bekerja pada musim panen saja, selebihnya menganggur
Bu Sumiati (50 th), warga Panti ini sehari-hari bekerja sebagai pencari kayu di pinggir hutan. Berangkat jam 6 pagi pulang jam 12 siang dengan penghasilan Rp.5.000/ hari. Setiap musim panen Bu Sumiati dan teman2nya alih profesi sebagai pe-ngasak keliling hingga ke daerah balung. Berangkat jam pagi dan pulang jam 2 siang dengan penghasilan bersih Rp.6.000/ hari.

6. Pembantu rumah tangga
Bu Eli (30 th),
bekerja mulai jam 6 pagi sampai jam 4 sore. Gaji Rp.300.000/ bulan. Tanggungan keluarga dua anak (TK dan SD). Suami bekerja sebagai tukang becak yang penghasilannya tak menentu.

7. Pedagang sayur di pasar
Bu Sum (65 th), kulakan sayur ke pasar Tanjung setiap jam 2 malam, lalu di jual di pasar Pelita sampai jam 11 siang. Penghasilan Rp.30.000/ hari, untuk biaya hidup dengan suaminya yang sudah jompo dan seorang cucu.

8. Pengamen
Bu Yani (38 th), pengamen dengan jam kerja mulai jam 8 pagi sampai jam 4 sore. Penghasilan Rp.4.000 – Rp. 9.000/ hari. Bu Yani adalah single parent dengan tanggungan seorang anak kelas 5 SD, sedangkan suaminya pergi untuk menikah lagi.

9. Buruh gudang
Bu Karni (55 th), bekerja sebagai buruh musiman di gudang tembakau. Upah Rp.15.000/ hari digunakan untuk biaya hidup sehari-hari dan biaya sekolah seorang cucu yang masih SMP.

10. PKL
Bu Rini (th), bekerja sebagai buruh bantu PKL. Bekerja mulai jam 8 pagi sampai jam 15 bahkan jam 19.00 (setelah habis dagangannya). Penghasilan perhari Rp.10.000 – Rp.15.000, dengan tanggungan keluarga dua orang anak. Suami kerja serabutan yang tak tentu hasilnya.

11. Pembeli Rambut
Bu Kar (50 th), bekerja berkeliling untuk membeli rambut, berangkat jam 7 pagi dan pulang jam 4 sore. Penghasilan Rp.4.000 – Rp. 14.000/ hari. Tanggungan 2 cucu lulusan SMA yang masih menganggur.

12. Pekerja Seks Komersial Jalanan
Mbak Yanti (28 th) terpaksa menjadi pekerja seks karena harus menghidupi dan membiayai kedua anaknya yang masih kecil, sementara suaminya pergi meninggalkannya tanpa perceraian. Siang dia berjualan es sirup, malam hari mulai jam 7 sampai 12 mencari konsumen di sebuah lokasi remang2. Tarif sekali layanan Rp 5.000. Dalam semalam kadang dapat satu atau dua pelanggan, tapi juga sering tidak mendapat pelanggan sama sekali

13. Buruh anak
Anik (16 th), bekerja sebagai buruh pabrik prol tape mulai jam 7 pagi hingga jam 3 sore setiap hari libur dengan upah Rp.12.000/ hari. Upahnya digunakan untuk membayar uang sekolah dan transport ke sekolah

14. Pengamen
Bu Na (50 th), bekerja sebagai pengamen sejak 25 tahun yang lalu. Berangkat kerja jam 7 pagi pulang jam 4 sore, dengan penghasilan paling banyak Rp.7.000/ hari digunakan untuk biaya hidup sekeluarga.

15. Jompo Miskin
Mbah Mus (67 th) tinggal bersama suaminya (70 th) di sebuah rumah bambu yang tidak layak huni. Mereka sudah tidak kuat bekerja, biaya makan hanya mengandalkan belas kasihan para tetangga. Rumahnya tidak diikutkan dalam bedah rumah karena bukan tanahnya sendiri, hanya menumpang di ladang orang lain yang terletak terpencil di lereng sungai.

Menurut data BPS Jatim 2009, jumlah penduduk miskin di Jember adalah 417.000 jiwa ( 18,57% dari penduduk Jember). Namun sampai saat ini tidak ada data yang pasti berapa jumlah perempuan miskin di Jember. Data dari Dinsos tahun 2008 menyebutkan terdapat 47.786 perempuan fakir miskin di Jember, 86 perempuan pengemis, 65 perempuan pekerja seks, 1.393 perempuan lansia terlantar, 32 perempuan gelandangan . Namun data ini pun layak untuk dipertanyakan, karena jelas sangat tidak sesuai dengan kondisi riil di lapangan. Sedangkan di Jatim jumlah penduduk perempuan miskin mencapai 3.735.300.000 jiwa, dan di Indonesia adalah18.076.900.000 jiwa, (Data BPS th 2004)

Kemiskinan
BPS mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk miskin adalah pihak yang memiliki pendapatan rata-rata dan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan, untuk Kab Jember yaitu dibawah Rp 132.240/ bulan. (BPS Jatim, 2009.
Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kkalori per kapita perhari. Berarti penduduk di Jember yang bisa memenuhi kebutuhan makannya dengan membelanjakan uang lebih dari Rp. 4.408/ hari sudah dianggap bukan penduduk miskin. Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.
Padahal banyak perempuan yang perpenghasilan lebih dari itu, namun mempunyai tanggungan anak. Perempuan yang berada dalam kondisi kekurangan pemenuhan kebutuhan dasar pangan, sandang, perumahan, layanan kesehatan, pendidikan dan informasi seringkali justru diabaikan.

Feminisasi Kemiskinan
Kemiskinan memang menjadi salah satu problem serius di negeri ini, bahkan di dunia. Ironisnya di dalam kemiskinan masih ada persoalan lagi yaitu feminisasi kemiskinan, yaitu kondisi ketidaksamaan tingkat kemiskinan antara laki-laki dan perempuan, dimana perempuan lebih miskin dari pada laki-laki. Dalam konteks Indonesia, kita bisa melihat bahwa kemiskinan perempuan telah terjadi dalam berbagai sektor yaitu ketegakerjaan, ekonomi , birokrasi, hukum dan pelayanan publik, yang secara sederhana bisa digambarkan sebagai berikut
Sektor
Bentuk Feminisasi Kemiskinan
Ketenagakerjaan:
1. akses mendapatkan pekerjaan
2. perbedaan upah yang berbasis jenis kelamin

Ekonomi:
1. akses menguasai sumber ekonomi

Pelayanan publik:
1. angka melek huruf perempuan lebih rendah dari pada laki-laki
2. angka ibu mati akibat melahirkan
3. gizi buruk

Birokrasi:
1. sex corruption perempuan menjadi alat suap dan perempuan harus menyuap dengan pelayanan sex.
Hukum
1. Substansi hukum yang memiskinkan perempuan
2. Aparat penegak hukum yang tidak sensitif gender
3. Putusan pengadilan yang tidak peka gender
4. APBD yang tidak memperhatikan kepentingan khusus perempuan
(Sumber: Kemitraan Indonesia: hasil penelitian en-gendering gerakan anti korupsi/ 2008)
Tanggung Jawab Negara
Dalam UUD 45 pada pasal 27 ayat 2 disebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan . Sedangkan pada Pasal 34 disebutkan: (1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. (3) Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Program Pemerintah untuk Penanggulangan Kemiskinan
Pada evaluasi awal perkembangan penduduk miskin 2009 yang dikeluarkan oleh Menko Kesra/ Ketua Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) menyebutkan: Pemerintah telah merencanakan berbagai percepatan program-program penanggulangan kemiskinan dalam 3 klaster. Program klaster 1: Raskin, PKH, BLT, Jamkesmas, BOS. Program klaster 2 dan 3: PNPM Mandiri dan Kredit Usaha Rakyat (KUR).Selain menuai banyak kritik bahwa program pembagian BLT, Raskin hanya akan memperburuk sikap mental bangsa, tidak mendidik juga terjadi banyak persoalan dalam implementasinya terutama berkaitan dengan pendataan. Data penduduk miskin dari BPS sebenarnya adalah data yang bersifat makro yang dihitung berdasarkan data Susenas sehingga data ini hanya dapat digunakan untuk menentukan alokasi dana tetapi belum bisa digunakan untuk program targeting atau penyaluran bantuan langsung ke rumahtangga miskin. Sehingga sering terjadi salah sasaran dan alokasi yang tak dapat memenuhi semua kelompok sasaran dalam pelaksanaan program2 untuk penduduk miskin. Misalnya data penerima BLT dan Raskin yang masih amburadul. Pembagian kompor gas konversi minyak tanah yang salah sasaran, justru dibagikan ke rumah tangga mampu yg sudah punya kompor gas sementara yg miskin malah tidak kebagian. Atau dana jamkesmas yang quotanya masih kurang memadai dari yang seharusnya.
Sedangkan pemerintah Jatim mempunyai program P2SEM (program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat) yang kemudian diduga banyak diselewengkan untuk membangun mushola, sunatan masal, dll. Program bedah rumah juga banyak menuai masalah karena dananya diselewengkan.
Pemerintah Kab Jember mempunyai program bank Gakin sebagai program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan oleh Dinas Koperasi UMKM. Program ini banyak mendapat apresiasi dari berbagai pihak, mudah-mudahan ke depan bisa lebih berkembang.

Rekomendasi:

1. Pendataan
· Ada kerjasama antar lembaga yang berwenang terhadap penyusunan data penduduk miskin, misalnya melalui TKPK, yaitu BPS, PemKab (Dinsos), BKKBN
· Penggunaan standar yang jelas terhadap kategori kemiskinan
· Up date data penduduk miskin, berupa data pilah laki-laki dan perempuan

2. Program:
· Program untuk penduduk miskin lebih difokuskan pada upaya penguatan ekonomi, dan peningkatan lapangan kerja.

3. Penganggaran:
· PemKab dan DPRD sebaiknya menempatkan RSUD dan SD/ SMP pada pos belanja APBD, bukan pada pos pendapatan daerah. Sehingga layanan dasar yang biasa digunakan masyarakat miskin tersebut bisa menjadi gratis, bukan malah menjadi primadona pendapatan asli daerah (PAD).
· Pembangunan infrastruktur untuk fasilitas masyarakat miskin (misalnya pembangunan sarana sanitasi dan air minum, sekolah dasar, puskesdes) harus lebih diutamakan dibanding proyek-proyek mercusuar milyaran rupiah yang akhirnya malah bermasalah, misalnya lapangan terbang dan sewa pesawat atau pemasangan lampu jalan secara spektakuler.

4. Pencegahan:
· Pemerintah sebaiknya melakukan antisipasi munculnya orang miskin baru, dengan mencegah terjadinya kasus PHK masal, penggusuran, bencana akibat penambangan serta melakukan antisipasi terhadap bencana alam/ banjir (misalnya dengan penghijauan secara serius dan mencegah pembalakan liar)
· Transparan dan akutabel dalam pelaksanaan program2 penanggulangan kemiskinan
· Melibatkan partisipasi masyarakat untuk melakukan kotrol terhadap program penanggulangan kemiskinan sejak perencanaan hingga pelaksanaan dan pertanggung-jawaban

5. Penghargaan dan sanksi
· Pemberian penghargaan kepada masyarakat yang mempunyai inisiatif dan bekerja secara mandiri untuk menanggulangi kemiskinan.
· PemKab, Kepolisian dan Kejaksaan bekerjasama untuk memprioritaskan pengusutan korupsi/ penyelewengan dana yang berkaitan langsung dengan masyarakat miskin, misalnya korupsi dana BOS, BLT, bedah rumah, P2SEM, jamkesmas, dana reboisasi, illegal loging, dll.

2 komentar:

  1. Teng kyu. Sukses juga unutuk Anda. Ditunggu kiriman2 artikelnya atau liputannya.

    BalasHapus