Rabu, 25 November 2009

Perempuan Dijadikan Sasaran Empuk Kekerasan

Mempengaruhi publik baik cara berpikir maupun perilaku adalah sesuatu yang tidak mudah. Meski perubahan yang akan dilakukan adalah sesuatu yang dalam beberapa tahun tarakhir ini terus didengungkan dan dilakukan sosialisasi secara besar – besaran, apalagi jika yang diangkat adalah isu yang meskipun sudah familiar tapi masih dianggap tidak wajar oleh masyarakat luas seperti tentang Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Kekerasan terhadap perempuan di
definisikan sebagai peristiwa yang berulang dengan perubahan bentuk
atau pelaku namun korbannya tetap perempuan.

Ketidakpahaman atau ketidakmampuan masyarakat untuk memahami mengenai pentingnya Anti Kekerasan Terhadap Perempuan menyebabkan sampai saat ini banyak perempuan diberbagai belahan dunia mengalami kekerasan, tidak terkecuali di Indonesia. Banyak perempuan yang menjadi korban KTP (Kekerasan Terhadap Perempuan). Dan kecenderungan jumlahnya yang terus meningkat dari waktu kewaktu menjadi bukti bahwa praktek kekerasan terhadap perempuan terus berlanjut. Dalam Jurnal GPP edisi Juli 2009 “ Hapuskan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak”, disebutkan bahwa sepanjang Januari hingga juli 2009 setidaknya sudah terjadi 40 kasus perkosaan dikabupaten Jember. Erma Susanti, koordinator Samitra Abhaya – kelompok perempuan pro demokrasi, di Surabaya, kamis 27/11/2008 menyatakan bahwa selama Januari – Oktober 2008 terjadi 217 kasus pemerkosaan di Jawa timur (http://www.vhrmedia.com, diakses 9 Juli 2009). Itu hanya jumlah yang dilihat dari kasus kekerasan seksual berupa perkosaan, belum lagi ditambah kasus – kasus pencabulan dan pelecehan seksual, dan bentuk – bentuk kekerasan lain yang biasa terjadi pada perempuan selain kekerasan seksual yakni kekerasan fisik dan juga psikis. Kita tahu bahwa kasus kekerasan Terhadap Perempuan khususnya kasus Domestik atau KDRT selalu diibaratkan seperti gunung es, dimana yang terdata atau yang terlihat hanya sebagian kecil atau ujungnya saja dan kasus kekerasan yang terjadi sesungguhnya jumlahnya jauh lebih besar.

Hal tersebut terjadi karena banyak faktor, salah satunya adalah karena budaya yang mengangap hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar/lumrah dan jika sampai tersiar keluar maka akan dianggap sebagai aib keluarga, konyolnya lagi hal itu dianggap sebagai aib perempuan yang menjadi korban. Karena yang menjadi sorotan untuk dikritisi adalah korban bukan pelaku kekarasan, hingga counter masyarakat semuanya tertuju pada perempuan. Merupakan hal biasa jika terjadi terjadi kasus pemeerkosaan atau pelecehan seksual, maka yang dianggap memancing terjadinya perkosaan adalah perempuan, seolah – olah perempuan pantas diperkosa, tidak sepenuhnya menyalahkan laki – laki yang melakukan perbuatan yang tidak seharusnya.

Pemetaan perempuan yang rawan menjadi korban kekerasan yang berhubungan dengan lingkungan

Hasil pemetaan kekerasan terhadap perempuan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pemetaan ini dilakukan oleh lembaga-lembaga yang aktif dalam isu lingkungan seperti Bina Desa, WALHI, RMI (Rimbawan Muda Indonesia), LBH Semarang, Institut Dayakologi Indonesia, KPS2K Surabaya. Ada 8 kelompok kajian yang masuk dalam pemetaan yaitu: perempuan tani di Desa Ketajek-Jember-Jawa Timur; perempuan nelayan di Desa Pantai Cermin Kanan-Serdang Bedagai-Sumatera Utara; perempuan buruh perkebunan, PT Pagilaran-Semarang-Jawa Tengah; Perempuan Adat Kasepuhan, Lebak-Banten; Perempuan Penggerak Perlawanan terhadap Tambang, Molo-NTT; Perempuan Sawit, di Dusun Sanjan Emberas,-Sanggau- Kalimantan Barat; Perempuan korban bencana Lapindo, Sidoarjo-Jawa Timur dan Perempuan Kampung Kota di sekitar pinggir sungai Ciliwung, Kwitang Jakarta Pusat.

  • Di Jember, sendiri kekerasan terhadap perempuan yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam dimulai ketika ada konflik tanah antara masyarakat dan perkebunan dan membuat hancur ketahanan pangan petani”. Tambang Mangan di silo Sanen juga berpotensi besar untuk terjadinya kekerasan terhadap perempuan – perempuan disana. Karena sejauh ini perempuan tidak pernah dilibatkan dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan hal ini tentunya sangat merugikan bagi diri perempuan, karena perempuan mempunyai kebutuhan dan kepentingan spesifik yang berbeda. Akibatnya dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sering kali mengabaikan kepentingan perempuan, padahal dalam konfilk sumber daya alam perempuan menjadi pihak yang paling rentan mengalami kekerasan.

Ada lima temuan bentuk kekerasan dari hasil identifikasi

1. Perempuan dianggap sebagai properti. Kondisi ini menempatkan perempuan tidak dalam posisi yang penuh untuk mengambil keputusan terhadap dirinya sendiri. Contohnya pada Perempuan Adat Kasepuhan yang menikah berkali-kali, tanpa surat resmi dan dinikahkan pada usia muda (12-16 tahun) ;

2. Perempuan sebagai alat pelanggeng reproduksi sosial, ketika perempuan keluar rumah untuk bekerja (seperti di temui di Perempuan adat dan petani), sebagian besar pendapatannya justru dipersembahkan untuk memenuhi kehidupan keluarganya. Meskipun perempuan ini memberikan berkontribusi yang signifikan tetapi mereka jauh dari akses, kontrol dan kedaulatan terhadap komunitasnya,

3. Pengabaian perempuan berbasis kelas. Di dalam sebuah masyarakat, perempuan sendiri terbagi dalam sebuah kelas sosial. Dalam setiap pengambilan keputusan baik di tingkat komunitas, keluarga maupun keputusan terhadap dirinya sendiri tidak pernah menjangkau perempuan-terutama perempuan dari kelompok sosial paling rendah

4. keempat, Intervensi Pasar atau kapital. Sebagai contoh Intervensi pasar mengubah cara pandang perempuan pada tubuhnya sendiri. Di kampung-kampung para perempuan yang telah susah payah mencari uang di kota, justru hasil jerih lelahnya ia pakai untuk membeli krim pemutih karena dalam pandangan perempuan kulit putih itu punya kelas sosial yang lebih tinggi,

5. Mengecilkan peran perempuan sebagai penjaga pangan atau kedaulatan pangan. Peran perempuan menjaga ketahanan pangan tidak hanya bagi dirinya tapi juga untuk keluarganya dianggap hal yang remeh dan tidak mendapat penghargaan yang layak. Hal tersebut jelas terlihat di perempuan tani, adat dan nelayan.

Kekerasan terhadap perempuan melalui kebijakan pemerintah

Peraturan pemerintah yang mengharuskan semua perempuan berjilbab dan tidak diperbolehkan keluar malam?. Disini telah terjadi politisasi di mana permainan politik akan terjadi ketika isu yang sebenarnya tidak tergarap. Soal Perda Kota Tangerang misalnya, sesungguhnya persoalannya adalah kemiskinan. Tapi kebijakan-kebijakan yang sifatnya populis, yang lebih menarik perhatian massa, yang lebih cepat diterima oleh umat tampaknya adalah persoalan yang terkait dengan moral.Sehingga segala sesuatunya dikembalikan pada upaya perbaikan moral saja. Lalu perempuan dipaksa mengenakan jilbab, dilarang keluar malam. Usaha pengalihan isu lagi –lagi perempuan dijadikan korban disini, seolah lupa bahwa itu adalah persoalan pelanggaran hak asasi. Kalau masalahnya moral, harusnya laki-laki dan perempuan sama hak dan kewajibannya. Bukan perempuan saja yang harus dipaksa untuk mengatur diri, namun orang lain (lelaki) juga harus mengontrol diri.

pemiskinan yang berkelanjutan. Tampaknya tidak ada upaya-upaya serius untuk menangani persoalan tersebut. Padahal sekali lagi, ketika bicara soal kemiskinan, perempuan adalah kelompok yang paling rentan terkena dampaknya. Sebab diam-diam selama ini perempuanlah penjaga gawang perekonomian keluarga. Dalam berbagai persoalan rumah tangga, perempuan yang diminta menyelesaikan segalanya. Cukup tidak cukup, harus cukup.

  • Dalam hal kesehatan, perempuan juga memiliki kebutuhan khusus mengenai kesehatan reproduksi dan dan kewajiban untuk membuat anggaran khusus mengenai kesehatan reproduksi perempuan menjasi tanggung jawab sepenuhnya pemerintah dan harus didukung oleh seluruh elemen dan masyarakat. Kebutuhan spesifik itu terkait dengan fungsi-fungsi reproduksi, kesehatan reproduksi, dan hal-hal yang selama ini dipandang bias oleh masyarakat. Mengapa ada, karena perempuan memiliki kodrat tertentu yang tidak dimiliki oleh manusia lain (laki-laki). Misalnya perempuan harus menstruasi, mengandung, dan melahirkan. AKI di Indonesia jauh lebih tinggi dari perkiraan Population Reference Bureau. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 1994 mencatat bahwa dalam kurun waktu 3 tahun sebelum survey, diperkirakan sebanyak 390 ibu meninggal dari 100.000 kelahiran hidup. Angka ini terus bergerak turun pada 1997 dan 2002-2003 menjadi 334 dan 307 per 100.000 kelahiran hidup. Dengan kata lain, ada 2 ibu meninggal setiap jam akibat proses melahirkan pada 2002-2003 . k enyataan tersebut menunjukkan bahwa kurang adanya perhatian pemerintah dalam hal kesehatan reproduksi perempuan yang sebenarnya merupakan tanggung pemerintah.

Ustad Pondok Pesantren Jelbuk menganiaya Istrinya

Sebagai contoh kasus pada tanggal 24 November 2009 di Radar Jember diberitakan sebuah kasus p nenganiayaan yang dilakukan seorang suami yang berstatus sebagai ustad di salah satu Pondok Pesantren di Jelbuk terhadap isterinya karena sisuami ingin menikah lagi dan isterinya menolak. Saat isteri melapor pada kepolisian pihak kepolisian mengarahkannya ke P3A dengan alasan kasus tersebut lebih cocok ditanggani oleh P3A, akan tetapi P3A sendiri tidak berani menanggani kasus tersebut karena Jelbuk merupakan daerah perbatasan. Itu satu bukti bahwa pemerintah tidak serius dalam menangani kasus – kasus kekerasan terhadap perempuan dimana aparaturnya juga tidak memiliki kepekaan terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan.

Rekomendasi

1. Implementasi UU KDRT, dan UU yang mengatur mengenai tindak pidana perkosaan lebih dimaksimalkan

2. Pemerintah bersama aparatur negara dan para penegak hukum hendaknya lebih peka terhadap hak – hak perempuan

3. Pemerintah hendaknya melakukan pencegahan dan meminimalisir Kekerasan Terhadap Perempuan melalui kebijakan – kebijakan yang dibuat

4. Masyarakat secara luas hendaknya memahami hak – hak perempuan, mendukung terpenuhiny hak – hak perempuan dan secara bersama – sama melakukan pencegahan terjadinya kekerasan terhadap perempuan

TRAGEDI MUNTIK?

Oleh : Dra. Ria Angin, MSi.(staf Pengajar Fisip UNMUH Jember)

Sekedar mengingatkan bahwa tepat beberapa hari menjelang peringatan hari perempuan sedunia, keluarga Muntik juga sedang menyelenggarakan selamatan empat puluh hari meninggalnya Muntik.

Ironis, hingga sejauh ini masalah Muntik belum ada kejelasan Hampir tidak ada upaya yang cukup berarti dari pemerintah dalam mengungkap kasus Muntik. Muntik memang bukan siapa-siapa. Dia adalah perempuan biasa yang kebetulan berusaha memenuhi kebutuhannya dengan bekerja di luar negeri lewat jalur legal (meskipun ada aparat yang menyatakan ilegal), dan mengalami kematian pada saat bekerja.

Mungkin sebagian kita, beranggapan bahwa apa yang dialami oleh Muntik adalah resiko yang harus dialami. Tetapi bukankah UUD 1945 mengamanatkan pada negara untuk memberikan perlindungan kepada setiap warga negara di manapun dia berada. Lebih-lebih Muntik ini adalah pahlawan devisa. Sehingga tidak terlindunginya seorang Muntik ketika bekerja hingga lambannya proses pengungkapan sebab kematiannya menjadi indikasi betapa lemahnya peran pemerintah dalam memberikan perlindungan bagi warga masyarakat.

Lalu apabila kita telaah lebih mendalam mengapa Muntik harus bekerja di luar negeri? Seandainya Muntik masih bisa menjawab, tentulah dia akan mengatakan bahwa:” ….jika di Jember ini ada pekerjaan yang lebih menjanjikan tentu saja saya akan memilih bekerja di Jember. Apalah dikata, tidak ada lapangan kerja yang cocok untuk saya.”.

Mungkin pemerintah daerah berkilah, bukankah sudah ada terobosan untuk meningkatkan perekonomian di pedesaan. Memang berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 pemerintah bersama-sama dengan masyarakat mendapat mandat untuk mengupayakan perluasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja. Produknya antara lain, seperti: PPK (Program Pengembangan Kecamatan, dari Ditjen Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Depdagri), P2KP (Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan, dari Ditjen Ciptra Karya Departemen PU), Desa Prima (Perempuan Indonesia Maju Mandiri, dari Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan), UPPKS (Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera dari BKKBN), UP2K (Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga dari PKK), KUBe (Kelompok Usaha Bersama dari Departmen Sosial), PEMP (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir dari Departemen Perikanan dan Kelautan), LKM Perkasa (Lembaga Keuangan Mikro Perempuan Keluarga Sehat dan Sejatera dari Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah), KBU (Kelompok Belajar Usaha dari Ditjen Pendidikan Luar Sekolah, Depdiknas), dan lain-lain. Pada 30 April 2007, Presiden meluncurkan program PNPM Mandiri, sebagai suatu gerakan nasional dalam menggerakkan keterlibatan semua unsur masyarakat dalam menanggulangi kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja, guna peningkatan kualitas hidup, kemandirian dan kesejahteraan masyarakat. PNPM diberikan dalam bentuk Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) ke kecamatan untuk pembangunan pedesaan, dan kelurahan di perkotaan. Pendekatan yang dipergunakan yaitu untuk menciptakan dan meningkatkan kapasitas masyarakat dalam melaksanakan proses pembangunan dari, oleh dan untuk masyarakat, dengan didukung pemangku kepentingan lainnya. Dengan demikian, pelaku utama pembangunan adalah masyarakat sendiri, dan tidak hanya laki-laki tetapi juga perempuan. Salah satunya

secara khusus membahas dan memutuskan usulan khusus perempuan. Agar dapat membahas dan memutuskan usulan khusus bagi perempuan tersebut, upaya pemberdayaan perempuan di pedesaan menjadi sangat penting agar mereka mempunyai kemampuan untuk menganalisis, merumuskan dan memutuskan kebutuhan pembangunan desa bagi perempuan, serta mampu menyuarakan dan memperjuangkannya secara meyakinkan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Desa dan di kecamatan. Kemampuan tersebut berguna tidak saja untuk PNPM Mandiri tetapi juga dalam rangka mengakses berbagai program pembangunan yang lain seperti revitalisasi Posyandu, Gerakan Sayang Ibu, Desa Siaga, pendidikan luar sekolah termasuk keaksaraan fungsional dan diklat kecakapan hidup, pembinaan usaha ekonomi dan koperasi perempuan, sanitasi dan lingkungan hidup, termasuk dalam rangka mengakses Program Nasional Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat, PANSIMAS (Water Supply and Sanitary for Low Income Communities, WSSLIC); Program Pemberdayaan Masyarakat untuk Pembangunan Desa, PMPD (Community Empowerment for Rural Development, CERD), Program Bank Dunia SPADA (Support for Poor and Disadvantage Areas Program), Program Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah (P2MPD), dan lain-lain.

Tetapi berdasarkan pengamatan selama ini, meskipun dana sudah digelontorkan melalui berbagai program di atas pada kenyataannya pemberdayaan perempuan di pedesaan belum sepenuhnya mampu mengentaskan perempuan dari kemiskinan. Selama masalah kemiskinan ini belum bisa terentaskan kejadian – kejadian dan kekerasan serupa akan dialami oleh Muntik-Muntik lain. Sekali lagi, kematian Muntik adalah sebuah ironi. Ibarat makan tebu, habis manis sepah dibuang.

Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Peraturannya

Empat puluh sembilan tahun yang lalu di negara Republik Dominika, terjadi peristiwa tragis yang menimpa tiga perempuan bersaudara, Minerva, Maria Teresa, dan Patricia Mirabel. Peristiwa tersebut bermula pada tanggal 25 November 1960. Seusai menjenguk suami mereka yang dipenjara di bawah kekuasaan rezim tiran Jenderal Rafael Leonidas Trujillo, Minerva, Maria Teresa dan Patricia Mirabel diculik. Penculikan dilakukan oleh angota Polisi Rahasia yang mendapat perintah dari Jendral Trujillo. Penyiksaan dan perkosaan bergiliran dilakukan pada ketiganya sebelum mereka akhirnya dibunuh.

Mirabel bersaudara memang bukan perempuan biasa. Mereka adalah aktivis perlawanan bawah tanah (klandestin)yang menjadi kelompok oposan subversif rezim diktator militeristik Jenderal Trujillo. Sekalipun kerap merasakan pengalaman yang tidak menyenangkan, ayah ketiga bersaudara itu, Don Enrique Mirabel dan suami mereka tetap gigih melakukan perlawanan. Para suami La Miraposa julukan pada tiga bersaudara perempuan yang berarti “sang kupu-kupu” dikenal sebagai aktivis bawah tanah dari Popular Franco Omes yang didirikan tahun1940. Bersama dengan suami mereka, La Miraposa menggalang organisasi kelas pekerja Dominika melalui Gereja-gereja.

Karena mereka mejadi pionir gerakan sosial dan politik ditengah-tengah rezim yang represif, pemerintah menganggap mereka sebagai duri dalam daging yang harus segera dicabut ( bila tidak akan menyebabkan infeksi kekuasaan). Terbunuhnya ketiga kupu-kupu Mirabel merupakan usaha mencabut duri yang justru memicu duka dan amarah masyarakat dan kelompok oposan. Perlawanan mereka pun semakin menggelora hingga pada akhirnya sang Tiran pun terbunuh pada tahun 1961 oleh serangan Pasukan Pembebasan Dominika.

Kongres Feminis Amerika Latin dan Kepulauan Karibia pada tahun 1981 mempopulerkan tanggal terbunuhnya La Miraposa sebagai Hari Internasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Akan tetapi, baru pada tahun 1991 Hari Internasional Anti – Kekerasan Terhadap Perempuan menjadi bagian dalam kalender Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Deklarasi Internasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 1993 menyebutkan bahwa : “ Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan yang diarahkan pada perempuan berdasarkan perbedaan jenis kelaminyang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di muka umum maupun dalam kehidupan pribadi”.

Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan terdiri dari :

  1. KEKERASAN FISIK,yaitu tindakan yang diarahkan untuk menyerang dan melukai pada tubuh, seperti memukul, menusuk, membakar dan sebagainya.
  2. KEKERASAN PSIKIS, yaitu tindakan yang diarahkan untuk menyerang mental atas perasaan perempuan dengan tujuan menghina, menghukum, atau merendahkan martabatnya, seperti caci maki, penghinaan, pengabaian, penelantaran, pembatasan nafkah, poligami dan perampasan kemerdekaan.
  3. KEKERASAN SEKSUAL, yaitu tindakan yang secara khusus diarahkan untuk menyerang seksualitas perempuan, misalnya pelecehan seksual, perkosaan, perbudakan seksual dan penghamilan paksa.

Setelah berbicara apa itu kekerasan terhadap perempuan mari kita bicarakan peraturan yang melindungi korban kekerasan terhadap perempuan. Pada saat ini sudah ada beberapa peraturan yang mengatur kekerasan terhadap perempuan diantaranya :

  1. Undang-undang no 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
  2. Undang-undang no. 7 tahun 1984 tentang Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
  3. Kitab Undang-undang Hukum Pidanaa+

Walaupun kita sudah memiliki peraturan yang berkaitan langsung terhadap perlindungan korban kekerasan terhadap perempuan akan tetapi peraturan tersebut masih belum memadai karena masih ada produk peraturan yang semestinya sudah dilakukan perubahan atau amandemen seperti contohnya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang sudah sangat tidak memadai karena hukuman yang diatur dalam KUHP bagi pelaku kekerasan terhadap perempuan masih terlalu ringan sehingga efek jeranya masih kurang diarasakan, belum lagi undang-undang anti diskriminasi terhadap perempuan walaupun sudah berlaku kurang lebih 25 tahun akan tetapi konvensi tersebut masih belum bisa dirasakan sebagai peraturan perempuan yang terlindungi dari diskriminasi terhadap perempuan karena masih kurang tersosialisasi dan budaya partriarkhi yang masih sangat mengakar, begitu juga dengan undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga jika terjadi kekerasan seksual dalam rumah tangga masih dianggap biasa saja karena itu adalah urusan antara suami dan istri dan masih sulit dibuktikan.

Harapannya adalah agar anggota DPR segera menyelesaikan pekerjaan rumah yaitu perubahan terhadap kitab undang-undang hukum pidana, dan para penegak hukum harus memahami apa itu anti diskriminasi sehingga secara tidak langsung peraturan anti diskriminasi terhadap perempuan tersosialisasi.

Sumber data

  1. Semai Buletin KPI (Koalisi Perempuan Indonesia), Hak – hak Dasar Perempuan sudahkah terpenuhi, edisi XII/Desember 2005.
  2. Soka Handinah Katjasungkana, Kekerasan Terhadap Perempuan, serial publikasi KSP.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar