Jumat, 06 Maret 2009

JURNAL GPP EDISI MARET 2009

“KORBAN”ISASI PEREMPUAN DALAM PROSES PEMILU 2009
DI KABUPATEN JEMBER


Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (UU RI No. 10/ 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD dan DPD)
Pemerintah yang dihasilkan pemilu mengemban tugas negara yang dicantumkan dalam pembukaan UUD 1945 bahwa Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social
Pemilu seharusnya menjadi media untuk proses perubahan dan pendidikan politik bagi masyarakat untuk lebih mencerdaskan masyarakat menuju kehidupan yang lebih sejahtera dan bermartabat.
Berdasarkan data bahwa jumlah pemilih perempuan adalah mayoritas maka seharusnya para caleg dan partai politik yang ingin memperoleh dukungan suara dari pemilih perempuan melakukan langkah-langkah advokasi untuk kepentingan strategis perempuan. Namun realitanya, pemilu justru dijadikan proses pembodohan perempuan.
Bentuk2 pembodohan perempuan dalam proses pemilu 2009 di Kabupaten Jember sebagai bagian terstruktur dari proses pembodohan nasional yang telah berhasil kami himpun adalah sbb:

Bentuk-bentuk pembodohan politik terhadap perempuan dalam proses pemilu 2009 di Kabupaten Jember antara lain:

1. Disorientasi proses sosialisasi politik

Proses sosialisasi politik yang semestinya menjadi proses pendidikan politik telah mengalami disorientasi atau tidak fokus pada substansi yang diharapkan.Dalam setiap tatap muka, baliho maupun stiker parpol dan caleg membodohi masyarakat karena lebih menonjolkan diri sendiri (narsis) dan mendompleng ketenaran orang lain, tidak focus pada penyampaian visi, misi dan program yang sudah dan akan dilakukan untuk perempuan (semua dapil)

2. Penyitiran ayat-ayat agama dan penggunaan idiom2 tertentu untuk mendiskreditkan perempuan

a. Penggunaan ayat “Arrijalu qowamuna ala nisa” dalam kampanye untuk menjatuhkan caleg perempuan dg mengartikan perempuan tidak pantas memimpin, laki-laki adalah pemimpin perempuan (dapil 4)
b. Caleg menggunakan fatwa MUI Golput haram untuk menakut-nakuti kelompok perempuan agar kelompok perempuan Islam memilihnya karena jika perempuan Islam golput maka Indonesia akan dipimpin oleh pemimpin non Islam (dapil 1)
c. Penyitiran hadis dan fatwa agama secara salah dalam kampanye untuk mendiskreditkan caleg perempuan dengan mengkampanyekan bahwa “Hancurlah sebuah kaum yang menyerahkan urusannya pada perempuan” (dapil 4)

3. Pembohongan publik:

Iklan Partai yang menyesatkan ttg penurunan harga BBM sebagai bukti keberpihakan dan kepedulian kepada rakyat, padahal harga BBM diturunkan karena memang harga minyak dunia turun mencapai US$40/ barrel, sehingga seharusnya, penurunan harga BBM bisa mencapai setidaknya kisaran harga Rp. 2.500,-/liter. (Pradana Boy ZTF, Jawa Pos 23 Jan 2009)

4. Politik transaksional

Caleg membayar calon pemilih (besarnya variatif antara Rp 10.000 – 50.000). Banyak caleg memilih cara ini karena beranggapan setelah membayar (transaksi jual beli), para caleg merasa tidak perlu lagi memperhatikan nasib pemilihnya. Padahal banyak kepentingan perempuan yg seharusnya menjadi agenda para calon legislative. Sehingga muncul istilah tongket (setong seket) dan pks (pese, kaos, stiker) (semua dapil)
5. Penipuan dan money politics

a. Sebuah parpol mengumpulkan para perempuan untuk diberangkatkan berziarah ke makam Sunan Ampel di Surabaya dengan membayar Rp 10.000. Ternyata dijadikan massa kampanye parpol di sebuah lapangan di Surabaya, tidak ke makam Sunan Ampel (dapil 1)
b. Pembagian stiker caleg yang berisi bahwa siapapun yang memilih caleg tersebut akan mendapatkan uang Rp 1 juta, korbannya mayoritas perempuan (dapil 3)
c. Penahanan KTP asli lebih dari 1.000 orang pemilih oleh caleg diganti dengan KTA yg berisi janji bagi pemegang kartu tersebut jika meninggal dunia mendapat santunan Rp 1 juta, jika punya hajatan perkawinan mendapat santunan Rp 500 ribu dan berhak mengusulkan jaring aspirasi masyarakat (jasmas) di APBD Jember, korbannya mayoritas perempuan (dapil 3)
d. Penahanan KTP pemilh dengan janji pada H-2 pemilu caleg akan membagikan uang Rp 1 jt kepada masing2 pemilik KTP (dapil 3)
e. Dugaan penyimpangan penyaluran dana P2SEM untuk kampanye caleg. Dana P2SEM seharusnya disalurkan untuk masyarakat miskin dan perempuan (semua dapil)
f. Dugaan penggunaan uang APBD/ jarring asmara atas nama sumbangan pribadi caleg (semua dapil).
g. Pembagian uang, kerudung, beras, paket sembako, layanan kesehatan alternatif, puskesmas keliling, pembayaran uang arisan, sarung, songkok, jaring nelayan, kaos, lomba sepakbola, pentas orkes music dangdut, gelar wayang kulit, layar tancap, pengajian, ziarah ke makam Wali, mengajari tata cara sholat. Menjanjikan jika terpilih akan memberikan 50 – 100 % gajinya untuk rakyat. Mempengaruhi pilihan perempuan bukan berdasarkan substansi demokrasi dan bernegara.
h. Iming2 akan diberi uang (picis rame-rame) jika memilih caleg tertentu, akan disumbang membangun masjid, dll.

6. Kekerasan dan intimidasi

a. Intimidasi terhadap buruh perempuan, Sebuah kelompok melakukan pengancaman terhadap para perempuan buruh gudang agar memilih caleg dari kelompoknya, jika tidak maka buruh yang bersangkutan tidak akan diberi pipil kerja (dapil 3)
b. Intimidasi tim sukses caleg perempuan, Caleg laki-laki mengintimidasi tim sukses caleg perempuan se parpol, agar tim sukses tersebut menghentikan kegiatannya jika tidak ingin mendapat resiko
c. Diskriminasi oleh parpol terhadap caleg perempuan. Sebuah parpol yang melakukan kampanye melalui media massa hanya menampilkan caleg laki-laki dan menutup akses caleg perempuannya untuk terlibat
d. Stereotype terhadap caleg perempuan oleg caleg laki-laki bahwa caleg perempuan tidak mampu menjadi pemimpin karena perempuan pendidikannya rendah dan seharusnya hanya mengurus rumah tangga,(dapil 4)
e. Dominasi terhadap caleg perempuan oleh parpol, caleg laki-laki, suami dalam mengemukakan pendapat
f. Intimidasi terhadap caleg perempuan oleh caleg laki-laki dengan menyebarkan issue bahwa politik sangat menakutkan, bahkan ada caleg yang disantet sampai meninggal. Jika caleg perempuan yang bersangkutan tidak ingin meninggal maka jangan bersaing dengan caleg laki-laki. Dengan ancaman tsb caleg perempuan dikondisikan berkampanye untuk caleg laki-laki dengan no urut di atasnya (dapil 6)

7. Pembunuhan logika dalam berpolitik

Caleg tidak melakukan pendidikan politik yang mencerdaskan pemilih tapi berusaha mempengaruhi pemilih melalui ritual irasional (pergi ke dukun, puasa mutih tujuh hari, mandi kembang tujuh rupa lepas tengah malam, menebar kemenyan dan paku, bersemedi di alas purwo, dll)

8. Pengabaian

Tidak ada caleg yg melakukan pendidikan politik secara serius di daerah terpencil. Karena ditengarai daerah terpencil tersebut merupakan basis golput (75% pemilih tidak datang ke TPS) maka tidak ada caleg yang berkampanye (Dapil 6/ Muneng,,Jombang dll)

Sebagai pemilih dengan jumlah yang amat besar, perempuan dapat mengkritisi dan memantau partai-partai yang ada saat ini, meskipun mereka mengajukan calon-calon legislative di parlemen. Apakah partai-partai tersebut memperjuangkan anggota dan massa perempuannya di tingkat partai dan parlemen? Apakah partai-partai itu memiliki program-program yang jelas yang menjawab kebutuhan-kebutuhan praktis dan strategis kaum perempuan di Indonesia? Masyarakat enggan memilih partai-partai dan caleg-caleg atau pun politisi busuk yang tidak memperjuangkan kebutuhan dan kepentingan kaum perempuan di Indonesia.
Selama nilai-nilai dan tatanan dalam keluarga, masyarakat, dan negara masih mengekalkan dominasi laki-laki serta dengan adanya praktik politik yang diskriminatif, maka efektivitas partisipasi perempuan dalam demokrasi akan sangat minimal. Rendahnya hal ini bukan karena keterbatasan kapasitas perempuan sebagaimana digembar-gemborkan orang selama ini. Kemiskinan dan kebodohan yang dialami perempuan Indonesia bukanlah kemauan mereka sendiri, melainkan karena sistem kekuasaan yang meminggirkan mereka dari kerja dan karya mereka. Kelemahan dan ketakberdayaan mereka diakibatkan oleh sistem masyarakat itu sendiri. Dan, kita melihat bahwa Pemilu 2009 merupakan politik pembodohan terhadap perempuan.

Proses pembodohan politik yang terus menerus dilakukan oleh berbagai lembaga politik memunculkan apatisme rakyat terhadap segala produk yang dihasilkan oleh lembaga politik. (ANTARA News, 19/07/08 ). Apatisme masyarakat terungkap dari data berikut: Tingkat golput di Kabupaten Jember pada pilgub Jatim 2008 putaran pertama (sebesar 52%) menempati urutan golput tertinggi se Indonesia (Jemberpost.com/ 28 Oktober 2008). Pada pilgub Jatim angka golput di Jember ungguli perolehan suara 5 cagub. Angka ketidakhadiran ke TPS/ golput pada pilgub Jatim di Kabupaten Jember mencapai 808.111 (50 % dari jumlah pemilih) (Detik Surabaya/ Kamis 24-07-08). Dari data Panwas Kab. Jember, terbesar angka Golput untuk wilayah Jember adalah Kecamatan Tanggul 60 %, dan Kencong 55 %. (Surabaya pagi/ 24 Juli 2008)

Lebih parahnya, di berbagai kasus, perempuan semata dijadikan alat politik dan akhirnya menjadi kaum mayoritas yang inferior dan terbungkam (silenced and thwarted majority) dan dijadikan obyek kebijakan (object of policy). Ditambah dengan pembodohan perempuan menjelang pemilu maka perempuan semakin dikorbankan. Perempuan oleh para elite politik dipaksa untuk menerima diri mereka sebagai pembawa hal baru dalam tahap-tahap perpolitikan, namun akses yang sulit ke kancah politik membuat mereka akhirnya hanya menjadi figuran dan tidak benar-benar berperan.

Maka masuknya perempuan dalam pengambilan keputusan menjadi penting dalam rangka menciptakan dunia yang baru, dunia yang bebas diskriminasi..


REKOMENDASI

CALEG:

1. Caleg seharusnya turut serta mencerdaskan bangsa, bukan malah melakukan pembodohan terhadap perempuan
2. Caleg harus mempunyai pola pikir bahwa menjadi wakil rakyat adalah untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan peningkatan ekonomi dan prestise pribadi serta bukan untuk kepentingan parpol
3. Melakukan advokasi untuk perempuan/ masyarakat sebagai life style (jauh-jauh hari sebelum pencalegan) sehingga bisa melakukan kampanye secara bermartabat. Caleg dadakan yang tidak punya tabungan sosial yang cukup dan tidak pernah peduli terhadap rakyat cenderung akan melakukan kampanye dengan cara-cara buruk dan melanggar hukum

PARPOL:

1. Parpol yg berpihak kepada rakyat, memperjuangkan kepentingan perempuan sepanjang waktu. Bukan hanya muncul ke hadapan perempuan menjelang pemilu karena menganggap perempuan hanya sebatas lumbung suara, bukan masyarakat yang harus dibela dan diperjuangkan nasibnya
2. Parpol adalah lembaga pengusung para pemimpin, selayaknya mampu memberi contoh bagaimana berorganisasi dan memimpin yang baik dengan memberi ruang untuk kemajuan perempuan, bukan disibukkan oleh konflik dan kepentingan internal

PEMILIH:

1. Sebelum memilih, perhatikan track record para caleg dan parpol dengan seksama. Apakah ada caleg atau parpol yang telah melakukan tindakan nyata untuk membela dan memperjuangkan nasib perempuan nasib masyarakat sejak sebelum masa pencalegan. Jika ada maka ia layak untuk dipilih. Namun jika mereka hanya melakukannya di saat menjelang pemilu, atau masih janji saja sebaiknya tidak dipilih.
2. Pilih caleg yang memperhatikan nasib perempuan secara nyata. Caleg yang hanya melakukan pembodohan terhadap perempuan tidak layak menjadi pemimpin, karena saat menjabat dia akan terus melakukan kebiasaan yang sama
3. Membagi-bagikan uang dan atau barang yang menjelang pemilu untuk mempengaruhi pemilih adalah perbuatan melanggar hukum. Orang yang melanggar hukum tidak layak untuk dipilih menjadi pemimpin, karena dengan mudah dia akan melanggar hukum saat dia menjabat sehingga akan menyengsarakan rakyat.

PANWAS:

1. Proaktif melakukan pengawasan dan mengusut tuntas pelanggaran/ penyimpangan proses pemilu
2. Melakukan pengawasan proses pemilu secara jujur tanpa kepentingan dari pihak lain (al: bersihkan panwas dari tim sukses)

KPUD

1. Melakukan pendidikan politik secara efektif untuk pemilih, terutama pemilih perempuan, tingkat pendidikan rendah, miskin, tinggal di daerah-daerah yang sulit terjangkau.
2. Menyelenggarakan pemilu secara bersih: bebas dari kepentingan pribadi, caleg dan parpol serta tidak melakukan korupsi dalam pengadaan barang dan jasa terkait pemilu

2 komentar:

  1. Selamat untuk GPP.. teruskan perjuangan

    BalasHapus
  2. Bersama kita bisa. Selamat berjuang juga Pak. Semoga bisa mereduksi angka kemiskinan di Jember.

    BalasHapus