Selasa, 25 Agustus 2009

JURNAL GPP EDISI AGUSTUS 2009

PERISAI PEREMPUAN

Setiap tanggal 18 Agustus kita memperingati “Hari Konstitusi Republik Indonesia”, sebagai penghargaan bahwa pada tangga 18 Agustus 1945 Indonesia sebagai bangsa dan negara yang merdeka mensyahkan UU yang pertama yaitu UUD 1945. Hari Konstitusi Republik Indonesia diperingati setiap tahun untuk membuat kita selalu terjaga, apakah sampai saat ini UU, peraturan dan kebijakan telah berada pada rel yang benar untuk memperjuangkan kemajuan dan kemakmuran bangsa dan negara ini. Maka Jurnal GPP edisi Agustus 2009 dengan tema “Perempuan dan Konstitusi” mengupas beberapa UU yang terkait erat dengan kepentingan perempuan, serta memberikan sedikit analisa terhadap peran dan posisi Lembaga legislative/ DPRD di Kab. Jember.

Wakil Rakyat Sedang Bobok. Dilarang Keras Mengganggu!!!

Dalam upaya membangun good and clean local governance, DPRD mempunyai tiga fungsi pokok yaitu legislasi, penganggaran dan pengawasan demi kepentingan rakyat yang diwakilinya (pasal 77/ UURI No. 22/ 2003, tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, DPRD).

Tuntutan masyarakat kepada pemerintah untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik dan bersih adalah sejalan dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat dan pengaruh globalisasi pergeseran paradigma pemerintahan dari “rulling government” yang terus bergerak menuju “good governance”

DPRD seharusnya mengontrol jalannya pemerintahan agar selalu sesuai dengan aspirasi rakyat, bukan malah merusak dan melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap aturan – aturan yang berlaku, melakukan kolusi dengan eksekutif dalam penyusunan anggaran agar menguntungkan dirinya. Setiap kegiatan yang seharusnya digunakan untuk mengontrol eksekutif, justru digunakan sebagai kesempatan untuk “memeras” eksekutif sehingga eksekutif
perhatiannya menjadi lebih terfokus untuk memanjakan anggota DPRD dibandingkan mensejahterakan rakyat. Maka tidak aneh, apabila pimpinan maupun anggota DPRD menjadi tersangka atau terdakwa dalam berbagai kasus yang diindikasikan korupsi. Perilaku kolektif anggota dewan dipandang menyimpang dan cenderung melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku. Walaupun maraknya korupsi di DPRD ini secara kasat mata banyak diketahui masyarakat namun yang diadili dan ditindak lanjuti oleh aparat penegak hukum, sangatlah sedikit. Faktor ini akhirnya memicu ketidakpuasan masyarakat terhadap supremasi hukum di Negara kita.

Untuk menghindari adanya kooptasi politik antara kepala Daerah dengan DPRD maupun sebaliknya perlu dijalankan melalui prinsip “Check and Balances”. Mekanisme “Check and Balances” ini dapat meningkatkan hubungan eksekutif dan legislatif dalam mewujudkan kepentingan masyarakat. DPRD sebagai lembaga legislatif yang kedudukannya sebagai wakil rakyat secara material mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan kepada rakyat atau publik yang diwakilinya. DPRD sebagai wakil rakyat dalam tindakan dan perbuatan
harus menyesuaikan dengan norma-norma yang dianut dan berlaku dalam kebudayaan rakyat yang diwakilinya. Dengan demikian DPRD tidak akan melakukan perbuatan yang tercela, tidak terpuji, menguntungkan pribadi dan membebani anggaran rakyat untuk kepentingannya. (H.A. Kartiwa, Good Local Governance : Membangun Birokrasi Pemerintah yang Bersih dan Akuntabel)

Masyarakat terus menyimak perkembangan dan peran lembaga legislative di Kab. Jember. DPRD Jember dinilai belum berfungsi secara maksimal.
Posisi Tawar Anggota Dewan Masih Lemah Terhadap Eksekutif (Prosalina FM, 20/08/2009)

DPRD Kab Jember Periode 2004 – 2009 dalam lima tahun masa kerjanya hanya menghasilkan tiga perda inisiatif yaitu perda tentang Kos-kosan, perda tentang perlindungan anak dan perda tentang PKL. Perda-perda tersebut dalam penyusunannya telah menimbulkan banyak persoalan dan menghabiskan anggaran yang sangat besar. Namun hasilnya banyak dikritik masyarakat serta implementasinyapun tidak jelas. Yang terjadi hanya saling lempar tanggung jawab antara DPRD dan eksekutif.

Perda sulit dilaksanakan di lapangan: Menurut Sujatmiko sebagai anggota DPRD Jember, saat ini fungsi koordinasi antara legislatif dan eksekutif tidak bisa berjalan dengan mulus. Akibatnya ada sejumlah Perda, yang sulit diterapkan karena tidak ditindaklanjuti dengan Peraturan Bupati atau aturan pelaksana lain oleh eksekutif (Prosalina FM, 20/ 08/2009).
Penerapan Perda Baru Tidak Efektif: Penerapan Perda baru yang dibuat oleh DPRD Jember periode 2004-2009 dinilai tidak efektif. Demikian dipaparkan tim ahli hukum DPRD Jember, Jayus. Menurut Jayus, ada sejumlah Perda, diantaranya Perda pedagang kaki lima dan Perda tentang kos-kosan, yang sudah ditetapkan namun tidak ditindaklanjuti. Seharusnya DPRD Jember lebih pro aktif mengontrol penerapan Perda di lapangan (Prosalina FM, 23/08/2009.
Banyak PR Anggota Dewan Yang Belum Selesai: Komisi A, belum merampungkan Perda Warnet Dan Pelayanan Publik. Konflik Tanah antara lain Ketajek dan Mandigu, program listrik desa, proyek listrik antrokan, persoalan tambang dan rumpon, juga belum tuntas (Prosalina FM, 20/08/2009)

Para calon legislatif adalah orang2 yang sangat dekat dengan rakyat baik secara fisik maupun psikis pada beberapa bulan menjelang pemilu pada masa kampanye. Dengan segala cara para caleg “mendekatkan diri” kepada masyarakat, semua hal dilakukan, mulai dari pengorganisasian, pertemuan, pengajian, money politics, obral janji, intimidasi, menipu, saling sikut dan telikung, pergi ke dukun dsb. Namun begitu para caleg dinyatakan terpilih dan akan dilantik maka mulailah tampak jati dirinya, arogan, merasa tidak butuh rakyat lagi. Perwujutan pembuangan rakyat tampak menyolok pada acara pelantikan DPRD Kab. Jember periode 2009 – 2014. Bagaimana para wakil rakyat yang seharusnya dekat, dicintai, dielu-elukan dan didukung rakyatnya karena akan memperjuangkan nasib rakyat, justru ketakutan setengah mati terhadap rakyat. Rakyat bukan lagi diposisikan sebagai kelompok yang dikasihi dan diperjuangkan namun dianggap ancaman gawat yang harus dilawan, disingkirkan. Maka pengamanan ekstra ketat dilakukan untuk melindungi para wakil rakyat yang takut rakyat. Sungguh aneh, ada apa sebenarnya?

Pelantikan Kok Kayak Perang: Banyak warga Jember tak menyangka pengamanan proses pelantikan anggota DPRD Jember periode 2009-2014 berlangsung super ketat. Bahkan, suasananya lebih mirip seperti perang karena barikade kawat berduri tersebar di sejumlah ruas jalan menuju kantor DPRD Jember di Jalan Bengawan Solo 86. Dari unsur kepolisian, jumlah personel yang diterjunkan total sekitar 600 orang. Mereka berasal dari semua satuan di Polres Jember, setiap polsek menerjunkan lima personel, satu pleton dalmas Polwil Besuki, dan satu pleton Detasemen B Brimob Bondowoso. Juga dilakukan pengamanan personal kepada setiap anggota dewan yang akan dilantik, lima personel petugas berseragam dan dua petugas pakaian sipil. Pengamanan yang dilakukan polisi saat pelantikan itu tetap dinilai sebagian masyarakat terlalu berlebihan. ''Pelantikan anggota dewan kok kayak perang saja. “Katanya wakil rakyat, tapi saat dilantik malah merepotkan rakyat,'' ucap Wawan, warga Sumbersari (Radar Jember, 22/08/2009)
Sebanyak 316 orang aparat kepolisian, 1 pleton Brimob, 70 personil pamong praja, dan 50 anggota komunitas intelijen daerah. akan diterjunkan untuk mengamankan pelantikan anggota DPRD Jember periode 2009-2014. Penjagaan di semua area, dalam dan luar halaman DPRD Jember steril (beritajatim.com, 13/08/2009)
Saat sidang paripurna istimewa pelantikan anggota DPRD Jember periode 2009-2014 dilakukan pengamanan ekstra ketat yang melibatkan sedikitnya 600 orang personil polres Jember ditambah 2 SSK Brimob (Kiss FM, 21/08/2009)
Pelecehan seksual oleh anggota Kepolisian Pengaman Pelantikan DPRD Jember
Pada sekitar jam 10.00 wib, di bundaran dekat gedung DPRD Kab Jember, seorang anggota Kepolisian yang sedang berseragam lengkap dan bertugas mengamankan acara pelantikan DPRD Kab Jember periode 2009-2014 telah melakukan tindak pelecehan seksual terhadap anggota Gerakan Peduli perempuan (GPP) Jember. Polisi tersebut melontarkan kata-kata tidak senonoh yang menyangkut seksualitas perempuan. Tindakan seorang Polisi tersebut sangat disayangkan di saat Kepolisian tengah giat membangun citra sebagai pengayom dan mitra masyarakat. Sebagai anggota Polisi yang terhormat yang tengah mengemban tugas Negara melakukan “pengamanan” acara kenegaraan justru melakukan pelecehan seksual. Maka penting sekali bagi Kapolres Jember untuk mendisiplinkan anggotanya dalam bertugas agar tidak mencemarkan Korp Kepolisian dan tidak menciderai kepercayaan masyarakat terutama kaum perempuan.

Perisai Perempuan

Ketika wakil rakyat sibuk memperdaya rakyat,
Ketika wakil rakyat ketakutan berdekatan dengan rakyat
Jangan harap mereka ingat untuk memperjuangkan nasibmu

Ketika pejabat sibuk membelanjakan uang rakyat
Ketika pejabat sibuk dari kejaran status tersangka, terdakwa atau terpidana
Jangan harap mereka memikirkan masa depanmu

Ketika pengamanan berarti pemberangusan
Ketika aparat keamanan asyik masyuk melakukan pelecehan seks dan pemerasan
Jangan pernah serahkan kepercayaanmu

Saatnya perempuan bersatu
Angkat perisaimu tinggi dan kokoh
Masa depan di genggamanmu




Hak Asasi Perempuan
Oleh: Ema Kemalawati, SH (Presidium Koalisi Perempuan Indonesia wilayah Jatim)

Berdasarkan hukum, kaum perempuan berhak atas kesempatan dan perlindungan hak asasi manusia yang sama dibidang sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya serta bidang – bidang lainnya. Martabat dan hak asasi perempuan sebagai manusia seutuhnya sudah diakui melalui Piagam PBB tentang persamaan hak bagi laki – laki dan perempuan, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia serta berbagai perjanjian dan deklarasi internasional termasuk Deklarasi Wina tahun 1993 serta Deklarasi Beijing tahun 1995. Hak – hak perempuan kini merupakan salah satu inti penting dalam penyelenggaraan masyarakat yang demokratis.

Dalam kenyataannya, dokumen – dokumen yang kaya akan pengakuan hak – hak perempuan itu belum mampu menciptakan kondisi sehari – hari yang bisa melindungi jutaan perempuan di dunia. Dari 1, 3 milyar orang yang hidup dalam kemiskinan, 70 persen diantaranya adalah perempuan; jumlah perempuan yang buta huruf lebih tinggi dari pada jumlah laki – lakinya. Perempuan baik dewasa maupun anak – anak diperlakukan sebagai komoditas dalam dunia prostitusi antar negara dan industri pornografi. Jutaan anak perempuan masih menjadi sasaran pemotongan alat kelamin, perempuan di setiap negara, terus menerus menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Di banyak negara perempuan memiliki akses ke kesehatan reproduksi yang sangat minim dan setiap hari perempuan menjadi sasaran dalam konflik bersenjata. Hak – hak perempaun dibidang ekonomi, sosial dan budaya masih diabaikan.

Berikut ini adalah instrumen – instrumen international dan nasional yang berhubungan dengan hak – hak perempuan :
1. Deklarasi tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Declaration on the Elimination of Discrimination against Women yang dinyatakan oleh Majelis Umum Resolusi 2263 (XXII) bertanggal 7 Nopember 1967
2. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of all forms of Discrimination against Women), diadopsi dan ditandatangani oleh Majelis Umum resolusi 34/180 tanggal 18 Desember 1979 dan mulai berlaku 3 september 1981 sesuai dengan pasal 27 (1)
3. Deklarasi tentang Penghapusan segala Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan (Declaration on the Elimination of Violence against Women) Majelis Umum resolusi 48 / 104 tanggl 20 desember 1993
4. Konferensi Dunia di Wina : “Hak – hak Perempuan merupakan Hak Asasi Manusia” (The Vienn World conference on Human Rights : “Women’s rights are human rights”).
5. Undang – undang no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
6. Undang – undang no. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
7. Undang – undang no 7 tahun 1984 tentang ratifikasi dari Penghapusan dari Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan

Sedangkan konsep pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat tercantum dalam Statuta Roma yang sudah diratifikasi dalam UU no. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Tindakan yang termasuk dalam pelanggaran HAM berat diantaranya adalah Kejahatan terhadap Kemanusiaan yang berarti segala tindakan yang dilakukan sebagai bagian dari sebuah penyerangan yang luas dan sistematis, yang diarahkan kepada penduduk sipil, dan bentuk dari penyerangan diantaranya adalah :
Pembunuhan
Pembasmian
Perbudakan
Pemerkosaan, perbudakan seksual, prostitusi secara paksa, kehamilan secara paksa, pengebirian secara paksa atau kekerasan seksual lain dengan tingkat keseriusan yang sama.

Dari penjelasan diatas kita telah mengetahui bahwa di Indonesia sudah banyak peraturan yang mengatur tentang HAM akan tetapi pada kenyataannya dalam pelaksanaan masih banyak yang menganggap kasus kekerasan terhadap perempuan adalah kasus pidana biasa bukan sebagai pelanggaran hak asasi perempuan.
Dengan demikian harapannya adalah
1. Para penegak hukum lebih peka terhadap kasus kekerasan terhadap
perempuan yang ditimbulkan oleh pelanggaran hak asasi manusia
2. Para penegak hukum dalam setiap penanganan kasus kekerasan
terhadap perempuan hendaknya mempertimbangkan peraturan tentang
hak – hak asasi perempuan.
3. Para pengambil kebijakan hendaknya dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan hendaknya lebih mempertimbangkan hak – hak asasi perempuan
(buku panduan tentang hak asasi manusia untuk anggota POLRI)

Pelanggaran HAM Perempuan dalam Ranah Politik dan Upaya Penangannya
Oleh: Dra. Ria Angin, MSi (Staf Pengajar Fisip UNMUH Jember)

Masih sedikitnya jumlah perempuan yang terjun dalam politik menjadi keprihatinan. Mengingat bahwa dibanding dengan kaum perempuan di Amerika Serikat, secara politis kaum perempuan di Indonesia sebenarnya jauh lebih beruntung. Jika di Amerika Serikat, hak memilih dan dipilih baru bisa dinikmati oleh kaum perempuan pada tahun 1920, maka perempuan di Indonesia telah menikmati persamaan hak politik dengan kaum laki – laki termasuk menjadi anggota partai politik sejak awal kemerdekaan. Bahkan di swedia, kaum perempuannya baru menikmati persamaan hak politik itu pada 1970.

Keberuntungan perempuan Indonesia dalam bidang politik ini dijamin oleh sejumlah peraturan perundang – undangan. Jaminan pertama bersumber dari Pasal 27 UUD 1945. Kedua, UU no. 68 Tahun 1956, yang merupakan ratifikasi dari konvensi PBB tentang Hak – Hak Politik Perempuan. Bagian terpenting dari Undang – Undang ini memuat aturan bahwa :

1. Perempuan mempunyai hak untuk memberikan suaranya dalam semua pemilihan dengan syarat – syarat yang sama dengan laki – laki tanpa suatu diskriminasi ( Pasal 1);
2. Perempuan akan dapat dipilih untuk pemilihan dalam semua badan – badan pemilihan umum, yang didirikan oleh nasional dengan syarat – syarat yang sama dengan laki – laki, tanpa suatu diskriminasi ( pasal 2);
3. Perempuan akan mempunyai hak untuk menjabat jabatan umum dan menjalankan semua tugas – tugas umum, yang ditetapkan oleh hukum nasional dengan syarat – syarat sama dengan laki – laki tanpa suatu diskriminsi.

Ketiga, adalah Undang – Undang Nomor 68 Tahun 1958. Undang – Undang inipun merupakan hasil ratifikasi dari konvensi PBB tentang Hak – Hak Politik Perempuan.

Keempat, peraturan lainnya adalah UU nomor 7 Tahun 1984. Undang – Undang ini merupakan hasil ratifikasi dari Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.

Namun pada kenyataannya, meskipun telah ada jaminan persamaan hak sebagaimana tertuang dalam konvensi maupun konstitusi, kaum perempuan si Indonesia belum memperlihatkan intensitas keterlibatannya dalam politik. Kalaupun toh sejarah mencatat adanya perempuan – perempuan yang menjadi anggota legislatif pada periode pemerintahan Soekarno, Soeharto maupun Habibie, Gus Dur dan Megawati jumlahnya relatif kurang signifikan dengan jumlah penduduk perempuan secara keseluruhan. Bahkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh M.Asfar (1996), pada masa orde baru perempuan yang terekrut adalah karena dilatarbelakangi oleh jabatan suami bukan atas kemampuan perempuan sendiri.

Dalam pada itu menjelang diselenggarakannya Pemilu Legislatif tahun 2004, telah ditetapkan berlakunya UU Pemilu tahun 2003. Dalam UU ini terdapat Pasal 65, ayat 1 yang memuat ketentuan tentang quota 30% bagi keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Bunyi pasal tersebut selengkapnya adalah sebagai berikut :

“ Setiap Partai Peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang – kurangnya 30%”.

Dengan berlakunya aturan perundang – undangan tersebut, diharapkan akan banyak perempuan yang terekrut sebagai anggota DPRD, DPRD Provinsi, maupun DPR.

Tahun 2007 disusul kemudian dengan ditetapkan undang – undang partai politik baru yang berisi aturan – aturan yang memberi keleluasaan perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam politik, antara lain : pertama, terkait dengan pendirian partai yaitu dalam pasal 1 ayat 2, isinya menyatakan bahwa pendirian dan pembentukan partai politik menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan. Kedua, terkait dengan kepengurusan partai, dimuat dalam pasal 1 ayat 5, menyatakan bahwa kepengurusan partai politik di tingkat pusat disusun dengan menyertakan sekurang – kurangnya 30 % keterwakilan perempuan; pasal 20 menyebut kepengurusan partai politik di tingkat propinsi dan kabupaten/kota disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan 30 persen yang diatur dalam AD/ART partai.

Ketiga, terkait dengan masalah kaderisasi. Ini dimuat oleh Pasal 31, yang isinya menyatakan bahwa partai politik melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai ruang lingkup dan tanggung jawab dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan jender.

Keberadaan aturan - aturan di atas membuka peluang yang besar bagi perempuan untuk terlibat dalam proses politik. Tidak hanya berupa inisiatif perempuan, tetapi juga tindakan proaktif dari partai politik dalam mencari kader perempuan untuk secara resmi direkrut sejak pendirian hingga menjadi pengurus partai. (Eko Bambang Subiantoro,2008). Selanjutnya masih pada tahun yang sama pemerintah menetapkan berlakunya Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu No 22 tahun 2007. UU ini mengamanatkan keterwakilan perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu dalam berbagai tingkatan .

Memang masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa pencantuman “keterwakilan perempuan” akan menjadi jaminan bagi politik yang berkeadilan gender. Tanpa sangsi yang tegas, UU dan peraturan hukum yang memayungi keterwakilan perempuan ini sangat mudah dilanggar.

Penelitian Ria Angin dan Kahar Haerah (2009) yang dilakukan di Kabupaten Jember, dalam pemilu legislatif tahun 2009 yang lalu menemukan bahwa tidak semua partai politik peserta pemilu memenuhi kriteria keterwakilan perempaun 30 %. Begitu pula dalam kepengurusan partai, hanya ada 2 partai politik (Barisan Nasional dan Partai Demokrasi Kebangsaan) yang menjadikan perempuan sebagai ketua, dan 5 partai (PDIP, Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia, Partai Peduli Rakyat Nasional, Partai Keadilan dan Peduli Indonesia) menunjuk perempuan sebagai sekretaris partai. Sedang partai-partai lainnya menempatkan perempuan hanya dalam jabatan-jabatan yang kurang strategis misalnya sebagai ketua biro perempuan.

Hal lain yang masih menjadi keprihatinan, dalam pemilu 2009 lalu, Ria Angin dan Kahar Haerah (2009) menemukan terjadinya sejumlah kasus pelanggaran HAM perempuan dalam ranah politik:
1. Perlakuan diskriminatif dan pembiaran oleh partai politik. Meskipun partai telah merekrut perempuan (baik dari unsur kader maupun simpatisan) sebagai caleg, ternyata partai politik lebih memperhatikan caleg perempuan yang berasal dari unsur kader.
2. Caleg laki-laki melakukan “pembunuhan karakter” terhadap caleg perempuan pada saat kampanye bersama, dengan menyatakan bahwa perempuan tidak mampu berpolitik.
3. Belum seluruh partai membuka kesempatan pada perempuan untuk menjadi pengurus. Ini berdampak pada kebijakan internal partai yang cenderung tidak memihak pada caleg perempuan.
4. Ada anggota legislatif perempuan dari PKB yang selalu diteror oleh rivalnya (caleg laki-laki) yang berasal dari partai yang sama (kasus 2004).

Sementara itu penelitian GPP Jember pada bulan Maret tahun 2009 juga
menemukan kasus yang sama:

1. Intimidasi terhadap tim sukses caleg perempuan. Caleg laki-laki mengintimidasi tim sukses caleg perempuan se parpol, agar tim sukses tersebut menghentikan kegiatannya jika tidak ingin mendapat resiko.
2. Diskriminasi oleh parpol terhadap caleg perempuan. Sebuah parpol yang melakukan kampanye melalui media massa hanya menampilkan caleg laki-laki dan menutup akses caleg perempuannya untuk terlibat.
3. Stereotyphe terhadap caleg perempuan oleh caleg laki-laki bahwa caleg perempuan tidak mampu menjadi pemimpin karena perempuan pendidikannya rendah dan seharusnya hanya mengurus rumah tangga saja.
4. Intimidasi terhadap caleg perempuan oleh caleg laki-laki dengan menyebarkan issue bahwa politik sangat menakutkan, bahkan diberitakan ada caleg yang disantet sampai meninggal. Jika caleg perempuan yang bersangkutan tidak ingin meninggal maka jangan bersaing dengan caleg laki-laki. Dengan ancaman tersebut caleg perempuan dikondisikan berkampanye untuk caleg laki-laki dalam dapil yang sama.
Adanya praktek-praktek yang melanggar HAM perempuan dalam ranah
politik sebagaimana diuraikan adalah fenomena yang sangat mungkin terjadi juga di daerah lain di seluruh pelosok tanah air. Oleh karenanya sudah tiba saatnya bagi pemerintah melakukan langkah-langkah berikut:
1. Mengupayakan ditetapkannya aturan hukum/perundangan yang
menjamin terselenggaranya HAM perempuan dalam ranah politik tanpa diskriminasi, intimidasi dan tindak kekerasan lainnya.
2. Mengoptimalkan implementasi keterwakilan perempuan 30 % dengan
menambahkan klausul adanya sangsi bagi pelanggar.
3. Mengupayakan aturan hukum/perundangan yang memberi sangsi pada
peserta pemilu, penyelenggara pemilu dan pengawas pemilu yang
membiarkan terjadinya pelanggaran terhadap HAM perempuan dalam
ranah politik.

Sumber Pustaka:

Anshor, Maria Ulfah,2006, Nalar Politik Perempuan Pesantren, Fahmina
Institute, Cirebon.
Asfar, Muhammad, Wanita dan Politik, antara karier pribadi dan jabatan suami,
Prisma, No 5, Tahun XXV Mei 1996.
Angin, Ria, dan Haerah, Kahar, Komunikasi Marketing Politik Caleg Perempuan
dalam pemilu, Laporan Penelitian, LPPM Universitas Muhammadiyah
Jember.
GPP Jember, Korbanisasi perempuan dalam proses pemilu 2009 di Kabupaten Jember, Jurnal GPP, Edisi Perdana, Maret 2009.
Nurul Zuriah, Refleksi Hak-hak Politik Perempuan Peluang dan Prospeknya
Menyongsong Pemilu 2004, Legality, Volume 12, Nomor 1, Maret – Agustus 2004.


PEREMPUAN DAN KETERWAKILAN DALAM LEGISLATIF
Oleh: Drs. Wahyu Krisnanto
Staf Pengajar Fakultas Hukum – UNIVERSITAS KATOLIK DARMA CENDIKA

Inti dari sistem demokrasi adalah upaya untuk menjamin kesetaraan politik bagi seluruh warga negara, baik kelompok mayoritas maupun kelompok marjinal. Konsep politik seperti demokrasi ini, kerap digambarkan sebagai tatanan politik yang sangat ideal. Dalam kenyataannya, masyarakat sering memandang bahwa kehidupan berpolitik, sering diidentikkan sebagai laki-laki. Dengan pengidentifikasiannya ini, memunculkan adanya paradigma sosial di sebagian besar masyarakat, bahwa yang berhak untuk terlibat dalam kehidupan politik hanyalah kaum laki-laki. Sebagai akibatnya, banyak keputusan politik yang seharusnya menjadi keputusan yang dapat mengakomodasikan seluruh kepentingan masyarakat, menjadi bersifat bias gender (gender biased).
Pada tahun-tahun terakhir ini, isu tentang keterwakilan dan partisipasi politik perempuan menjadi semakin signifikan, hal ini diindikasikan dengan semakin gencarnya tuntutan dari kalangan aktivis perempuan untuk memperjuangkan keterwakilan politik kaum perempuan, baik pada lingkup parlemen, kabinet maupun organisasi-organisasi di tingkat komunitas. Hal ini terkait dengan salah satu kredo pening dari setiap kerangka kerja demokrasi yang mengagungkan prinsip hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak-hak poliik bagi laki-laki dan perempuan.
Isu tentang kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan tidak saja menjadi isu local di Indonesia, tetapi telah menjadi isu internasional. Hal ini ditandai dengan adanya berbagai konsensus dunia untuk melakukan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, yang dimulai dengan adanya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women atau CEDAW) yang kemudian diadopsi oleh Sidang Umum PBB pada tahun 1979 dan disahkan mulai tahun 1981. Konvensi ini telah ditindaklanjuti pula dengan Konferensi PBB tentang Perempuan di Beijing tahun 1995 (yang kemudian dikenal dengan istilah Beijing Action Platform) yang menghasilkan kesepakatan dunia Internasional terhadap perlunya meningkatkan jumlah kaum perempuan di dunia politik serta memperkokoh basis kekuatan mereka.
Setelah lebih dari 20 tahun sejak ditandatanganinya konvensi dan telah disepakatinya Beijing Action Platform, dalam kenyataannya menunjukkan bahwa kaum perempuan di seluruh pelosok dunia masih termarjinalisasi dan kurang terwakili suaranya. Sadar akan hal itu, masyarakat dunia melalui PBB pada tahun 2000 telah mencanangkan Sasaran Pembangunan Milenum (Millineum Development Goals/MDG’s). Dalam MDG’s tersebut kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan masih dijadikan salah satu isu utamanya. Terdapat 3 (tiga) target utama yang menjadi sasaran MDG’s terkait dengan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, yaitu: kesetaraan di bidang pendidikan, kesetaraan di bidang lapangan pekerjaan dan kesetaraan di bidang politik (dalam hal ini keterwakilan suara perempuan pada pengambilan keputusan yang bersifat public).
Dari hasil pemantauan yang dilakukan oleh PBB terkait dengan pencapaian ketiga target MDG’s di bidang kesetaraan gender dan perempuan, menunjukkan bahwa Indonesia telah mencapai kemajuan dalam meningkatkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan terutama di bidang Pendidikan. Hal ini terutama ditunjukkan oleh rasio anak perempuan terhadap anak laki-laki di tingkat pendidikan dasar, lanjutan dan tinggi yang diukur melalui angka partisipasi murni anak perempuan terhadap anak laki-laki. Kemajuan lain di bidang pendidikan juga dapat dilihat dari rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki usia 15-24 tahun yang diukur melalui angka melek huruf perempuan/laki-laki (indeks paritas melek huruf gender). Meskipun dirasa telah banyak kemajuan pembangunan yang dicapai, namun kenyataan menunjukkan bahwa kesenjangan gender (gender gap) masih terjadi di sebagian besar bidang, terutama dalam bidang ekonomi dan keterwakilan suara perempuan yang terkait dengan keputusan-keputusan politik[1].
Gayung bersambut dengan konvensi CEDAW, konferensi PBB di Beijing serta program PBB yang dituangkan dalam Program MDG’s tersebut, Undang-undang No. 10 Tahun 2007 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD pasal 8 ayat 1 (d) telah mensyaratkan penyertaan 30% perempuan kader partai untuk bertarung bebas di arena Pemilu Legislatif tahun 2009. Ketentuan ini cukup menggembirakan namun sekaligus juga merupakan tantangan bagi kaum perempuan untuk berkiprah dalam ruang politik di tanah air.
Terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh perempuan untuk berkiprah dalam ruang politik di Indonesia. Tantang pertama yang harus mereka hadapi adalah pada factor budaya, dimana masyarakat Indonesia yang menganut sistem patriakhi menjadikan kesempatan perempuan untuk menjadi politisi relative terbatasi karena persepsi masyarakat mengenai pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, yang cenderung bias gender sehingga membatasi peran perempuan hanya sebatas pada peran domestic tanpa memberikan kesempatan kepada mereka untuk berkiprah dalam ruang public dan politik. Persepsi yang sering terjadi adalah arena politik adalah arena laki-laki, sehingga tidak pantas bagi perempuan untuk menjadi anggota parlemen.
Tantangan berikutnya terkait dengan masalah regulasi penyelenggaraan Pemilu. Keputusan Mahkamah Konstitusi yang memberlakukan pemilihan calon anggota legislative berdasar tingkat popularitasnya, sedikit menjadi hambatan bagi para calon legislative perempuan untuk bertarung bebas dengan calon legislative laki-laki. Hal ini lebih disebabkan karena kaum laki-laki telah terlebih dahulu diberikan ruang secara terbuka di bidang politik dan public, sehingga lebih dikenal perannya dibanding dengan para calon legislative perempuan. Hambatan lain bagi kaum perempuan untuk berkiprah di Parlemen adalah adanya pasal 218 ayat 1 ( c ) pada UU No. 10 Tahun 2007. Pasal ini dapat dikatakan sebagai pasal karet, karena tidak terdefinisikannya secara tegas ketentuan di dalamnya. Dalam Pasal tersebut diuraikan bahwa calon anggota legislative terpilih dalam dianulir keterpilihannya, apabila dirasa tidak loyal pada Partai Politik. Apalagi bila melihat bahwa sebagian besar calon anggota legislative perempuan yang bertarung dalam Pemilu 2009 bukanlah pucuk pimpinan dalam Partai Politik.
Memperhatikan pada sejarah perpolitikan di Indonesia, peran perempuan di dalam Parlemen memang cukup memprihatinkan. Hal ini dapat kita dilihat dari jumlah anggota legislative perempuan dari setiap era pemerintahan Presiden di Indonesia. Sebagai faktanya menunjukkan bahwa sistem Pemilu di era Soekarno (1955-1960) peran perempuan di Parlemen hanya berkisar 4 – 6%. Sedikit lebih baik ditinjau dari kuantitasnya, terjadi pada era Orde Baru (1972-1992) dimana jumlah anggota legislative perempuan di DPR sebesar 13%. Ketika era reformasi yang seharusnya terjadi reformasi ruang public bagi perempuan, justru menunjukkan jumlah anggota legislative perempuan di DPR terjadi penurunan dibanding era Orde Baru yaitu sebesar 11%.
Bila kita tinjau dari keterlibatan perempuan dalam setiap komisi di DPR, terlihat adanya diskriminasi peran perempuan anggota legislitif. Hal ini terlihat dari jumlah anggota legislative perempuan yang diduduk pada setiap komisi, dimana komisi dengan jumlah anggota perempuannya terbanyak adalah pada Komisi VIII yang membidangi masalah agama, sosial dan pemberdayaan perempuan, selanjutnya komisi kedua terbanyak anggota perempuannya adalah IX yang membidangi masalah kependudukan, kesehatan dan tenaga kerja. Sedangkan keterwakilan perempuan pada komisi-komisi yang membidangi masalah ekonomi dan politik tidak sebanyak pada kedua komisi tersebut di atas. Padahal komisi-komisi yang membidangi masalah ekonomi dan politik (yang notabene adalah membidangi masalah representasi politik dan kemiskinan) cukup signifikan dalam penentuan arah pembangunan di Indonesia. Selain daripada itu, di tingkat masyarakat, bahwa kaum ibu-ibu rumah tangga yang akan merasakan dampak secara langsung keputusan-keputusan strategis yang menyangkut ekonomi dan politik tersebut.
Kurangnya representasi perempuan dalam bidang politik antara lain disebabkan oleh kondisi budaya yang patriakal yang tidak diimbangi kemudahan akses dalam bentuk tindakan afirmatif bagi perempuan, seperti pemberian kuota dan penerapan regulasi yang tidak bersifat kembang kempis seperti yang terdapat pada Pasal 218 ayat 1 ( c ) pada UU. No. 10 Tahun 2007 yang pada akhirnya merugikan kedudukan kaum perempuan di Parlemen.
Tugas yang harus dilakukan oleh para perempuan anggota DPR periode masa 2009 – 2015 untuk memperjuangkan harkat dan martabat perempuan di Indonesia adalah:
1. Mengembangkan jaringan lintas fraksi antara perempuan di parlemen
2. Memperjuangkan sistem politik yang menunjang peningkatan keterwakilan perempuan dalam parlemen yang saat ini masih dirasa dilakukan dengan setengah hati karena adanya Pasal 218 ayat 1 ( c ) tersebut.
3. Mempertegas pasal tentang kuota untuk perempuan.
4. Memperjuangkan Undang-Undang yang menjamin peran perempuan di ranah publik dan perlindungan kepada perempuan.
5. Mengembangkan kapasitas diri para perempuan anggota legislative, terutama pemahamannya terhadap isu gender, agar tidak lagi kecolongan seperti diberlakukannya UU. Pornografi dan regulasi-regulasi yang masih dirasa bias gender.


LEGISLATIF PEREMPUAN: POLITICAL PRESENCE ATAU PERWAKILAN SUBSTANSIAL?
Oleh: Tedi Erviantono (Pengajar Prodi Ilmu Politik FISIP Universitas Brawijaya, Malang)

Politik cenderung dilekatkan dengan budaya patriarki yang androsentris dimana pada gilirannya menempatkan perempuan pada posisi ketidaksamaan struktural. Ranah kekuasaan seolah menjadi domain laki-laki dan sekaligus menegaskan perbedaan akses terhadap sumber daya yang tersedia. Di lembaga politik, posisi perempuan akhirnya hanya mengalami eksklusi dan menjadi kurang terepresentasi dalam setiap aktifitas perumusan kebijakan.
Konsekuensi historis perempuan yang lama terkungkung pada tradisi patriarki dan harus berhadap-hadapan dengan arus global yang memutlakkan penyertaan praktek-praktek penyelenggaraan demokratisasi, pada gilirannya menempatkan upaya promosi inklusi perempuan dalam institusi politik hanya sebatas political presence. Political presence hanyalah memperkuat representasi perempuan di tataran permukaan saja sebab komitmen yang terbangun sifatnya dangkal, hanya berorientasi pada kehadiran fisik daripada bersifat substantif. Political presence tidak selamanya mampu menyertakan komitmen atau jaminan terepresentasikannya kepentingan perempuan.
Keterwakilan Semu
Keberadaan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik memang telah memberikan mandat kepada partai politik untuk memenuhi kuota 30% bagi perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat.

Penguatan aspek keterwakilan perempuan di lembaga legislatif ini dipertegas pada beberapa pasal yang ada di dalamnya. Misalnya, pada pasal 8 butir d Undang Undang Nomor 10 Tahun 2008, yang menyebutkan penyertaan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu. Pasal 53 menegaskan bahwa daftar bakal calon juga memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan dan ditegaskan pula pada pasal 66 ayat 2 bahwa KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap parpol pada media massa cetak harian dan elektronik nasional. Sedangkan pada Pasal 2 ayat 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 menyebutkan bahwa pendirian dan pembentukan parpol menyertakan 30% keterwakilan perempuan. Lebih jauh, di Pasal 20 tentang kepengurusan parpol disebutkan juga tentang penyusunannya yang memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30%.

Penetapan kuota 30% sebenarnya sudah diinisiasi pada Pemilu 2004 yang saat itu juga merupakan buah dari tuntutan aktivis perempuan. Hasil yang diperoleh adalah 62 anggota dewan perempuan terpilih dari sekitar 550 anggota DPR RI atau sekitar 11,3%. Angka ini cukup lumayan dibandingkan Pemilu 1999, --pemilu pertama di era reformasi--, yang menyertakan 45 anggota legislatif perempuan dari jumlah 500 anggota DPR yang terpilih atau sekitar 9%-nya dari jumlah keseluruhan. Pada rilis sementara hasil hitungan KPU (Mei 2009), pada pemilu legislatif 2009 lalu, terpilih 98 orang anggota legislatif perempuan (DPR-RI) dari 560 calon terpilih atau sekitar 17,5 % dari total legislator.

Kedua regulasi bidang politik yang terbaru tentunya dibuat dengan komitmen agar keterwakilan politik perempuan tidak hanya sekedar political presence melainkan keterwakilan substansial, namun menilik kenyataan yang terjadi jelas bahwa posisi perempuan dalam konfigurasi politik di negara kita masih jauh dari harapan. Meski telah terdapat perangkat regulasi yang memandatkan kuota 30% dalam lembaga legislatif, itu namun ternyata hal tersebut tidak serta-merta menjamin peningkatan keterwakilan perempuan dalam politik. Jaminan kesetaraan dalam bidang politik yang dilegalisasi melalui kedua regulasi diatas belum mampu memberikan akses yang lebih besar bagi kaum perempuan untuk mengisi ruang-ruang politik formal, baik saat pentahapan pencalonan hingga pada tahap penetapan anggota legislatif perempuan terpilih.

Sebagai contoh, misalnya saat pengumuman rekapitulasi prosentase jumlah keterwakilan perempuan pada daftar calon sementara anggota DPRD di sebagian propinsi, kabupaten dan kota beberapa waktu lalu, masih ditemukan banyak partai politik yang tidak memenuhi kouta 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon legislatif. Hasilnyapun cukup mengecewakan, selain tetap melenggangnya partai politik ikut pemilu, para caleg perempuan kala itu diajukan secara serampangan oleh partai politik tanpa mempertimbangan aspek kaderisasi partai serta parahnya lagi tanpa disertai penyertaan kapasitas pengetahuan caleg tentang gender dan kepentingan perempuan yang harus diperjuangkan. Perhatian negara terhadap masuknya kalangan perempuan di ranah politik inipun makin terkesan setengah hati saat sempat muncul keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dimana mengubah penentuan pengisian kursi legislatif Pemilu 2009 dari berdasar nomor urut calon anggota legislatif menjadi berdasar suara terbanyak.

Keputusan ini menyisakan perdebatan antara kalangan pembela hak-hak politik perempuan dengan pihak-pihak yang tidak terlampau percaya dengan kuota suara bagi kalangan perempuan. Para aktifis perempuan merasa bahwa saat nomor urut tak lagi ditimbang dan suara terbanyak jadi penentu, maka peluang keterwakilan perempuan untuk menduduki kursi legislatif akan menipis dan otomatis kebijakan yang pro-perempuan akan minus dihasilkan oleh lembaga rakyat tersebut. Kontras dengan pembelaan itu, kalangan lain kurang begitu meyakini kapabilitas caleg perempuan yang akan sanggup membawa aspirasi perempuan sehingga ukuran penentuan porsi berdasar nomor urut bagi perempuan cenderung diabaikan. Meski saat ini nama-nama anggota legislatif perempuan yang duduk di DPR, DPRD Propinsi, kabupaten dan kota sudah diumumkan dan masih menyisakan perdebatan penetapan penghitungan sisa suara, namun ada beberapa aspek penting yang perlu ditanggapi sebagai momen yang cukup monumental bagi perjuangan perempuan Indonesia.

Optimalisasi Peran Parpol
Artikulasi perempuan di ranah politik pada pemilu legislatif beberapa waktu lalu telah menegaskan aksi-aksi afirmatif (affirmative actions) bagi kalangan perempuan. Perjuangan perempuan yang sebelumnya hanya sebatas responitas pada isu-isu kebijakan sosial ekonomi mulai menegas pada konfigurasi kedudukan bagi politisi perempuan di lembaga perwakilan. Kalangan aktifits perempuan memandang bahwa pengerucutan isu pada aksi-aksi afirmatif sudah saatnya menjadi agenda yang senantiasa dipertegas keberlanjutannya, seperti misalnya kuota politik perempuan di parlemen, rekrutmen pejabat politik dan birokrasi yang sensitif gender, akses khusus bagi perempuan terhadap kebijakan publik, dan anggaran yang berkomitmen pada program gender secara berkeadilan.

Kondisi ini tentunya berjalan pada keinginan untuk keluar dari kungkungan subordinasi dan marjinalisasi. Subordinasi bahwa dunia politik adalah dunia laki-laki dan di saat kegiatan politik menyertakan lobby-lobby yang sifatnya elitis, maka kepentingan perempuan hanya diletakkan dibawah kepentingan laki-laki. Sedangkan marjinalisasi terjadi dalam budaya birokrasi termasuk program pembangunan yang memposisikan perempuan sebagai kaum yang tetap mengerjakan hampir 90% pekerjaan domestik, meski mereka bekerja di sektor-sektor formal.

Kontras dengan subordinasi dan marginalisasi, yang terjadi di tataran praksis justru persoalan perempuan sudah sedemikian kompleksnya, seperti perburuhan, pemeliharaan kesehatan ibu dan anak, pendidikan, penanganan kekerasan dalam rumah tangga, dan sebagainya. Selain itu, sudah banyak perempuan yang menjalankan tugas sebagai pemimpin strategis dalam kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan, seperti posyandu, kelompok pemberdayaan perempuan, serta lembaga-lembaga pendidikan.

Melihat kenyataan diatas jelas bahwa kuncinya berada pada partai politik menjalankan fungsi rekruitmen dan kaderisasi secara matang termasuk menyertakan proses pendidikan politik yang mencukupi. Kalangan perempuan mulai ditempatkan pada posisi serta tanggung jawab organisasi kepartaian yang strategis, sehingga tidak hanya ditempatkan sebagai pengelola urusan administrasi partai belaka.

Dalam proses kaderisasi, partai politik mulai menerapkan ritme mekanisme persaingan yang mengedepankan akuntabilitas dan profesionalitas. Bagi kader perempuan, misalnya, kapasitas yang harus dimiliki adalah pemahaman komprehensif akan masalah perempuan dan keterwakilan politik gender yang terbingkai dalam proses merit system seperti halnya di birokrasi . Elit dan pimpinan partai politik harus membiasakan kader-kader perempuan berperan dan berkontribusi sesuai garis partainya sejajar dengan kader-kader partai politik laki-laki. Prinsip partikularis warga negara harus dipahami oleh semua aktor-aktor politik' yang meletakkan konsepsi bahwa demokrasi tidak berjalan tunggal dengan mengabaikan disriminasi dan kesenjangan, sebab hingga kini masih terdapat ketidaksamaan kondisi struktur sosial, ekonomi dan politik yang berbeda-beda termasuk perbedaan porsi keterwakilan politik antara perempuan dan laki-laki.

Anggota legislatif perempuan yang terpilih haruslah memiliki pemahaman konseptual yang mampu memisahkan secara tegas antara partisipasi dan keterwakilan. Partisipasi merupakan suatu bentuk formulasi agenda yang lebih banyak dipengaruhi kepentingan perorangan atau individual. Sedangkan keterwakilan adalah proses formulasi agenda yang berasal dari berbagai pihak dan posisinya mewakili kelompok kepentingan, termasuk partai politik.Sehingga sejatinya, posisi anggota legislatif perempuan bukanlah sekadar bentuk partisipasi politik perempuan di ranah politik, melainkan lebih mencerminkan keterwakilan politik gender. Partisipasi politik perempuan lebih menunjuk sebatas pembedaan jenis kelamin sebagai ciri biologis, sebaliknya identitas gender menunjuk pada kesadaran akan ketidakadilan relasi dan kesenjangan antar jenis kelamin.

Sebab apabila tidak, seperti periodisasi sebelumnya banyak anggota legislatif perempuan yang sekedar merepsentasikan political presence, sekedar kehadiran secara fisik belaka sedangkan fungsi utamanya dalam praktek legislasinya sama sekali tidak sensitif pada soal-soal diskriminasi terhadap perempuan. Sedangkan politisi perempuan yang substansial akan benar-benar sensitif pada masalah gender serta mengimbanginya dengan kesadaran untuk merepresentasikan kekuatan politik kalangan perempuan pada konteks pemberdayaan dan kesetaraan.
Referensi :
Cindy Simon Rosenthal, When Women Lead Integrative Leadership in State Legislatures, Oxford University Press, New York, 1998
Miriam Budiarjo, Pengantar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta
Beth Reingold, Representing Women (Sex, Gender, Legislative Behavior in Arizona and California, The University of North Carolina Press, Chappel Hill London, 2000)
Alamat email : erviantono2@yahoo.com
No kontak : 0817537730


25 TAHUN PELAKSANAAN UU No 7/1984 BELUM MENGHAPUS DISKRIMINASI TERHADAP PEREMPUAN
Oleh: Ifana Ro’aeta (Mahasiswa STIA Pembangunan Jember)

Sejak tanggal 24 Juli 1984, Undang – undang RI No. 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, telah disahkan. Akan tetapi jika kita amati, diskriminasi terhadap perempuan masih marak terjadi dalam kehidupan sehari – hari hingga hari ini, 25 tahun setelah Undang – undang ini diberlakukan.

Pasal 3 yang berbunyi : Membuat peraturan yang tepat, termasuk pembuatan undang – undang khususnya di bidang politik, sosial, ekonomi, dan budaya untuk menjamin perlindungan dan penikmatan hak asasi manusia dan kebebasan pokok atas dasar persamaan. Di situ jelas bahwa pada dasarnya CEDAW (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women) mewajibkan kepada setiap negara yang meratifikasi konvensi tersebut untuk melakukan langkah-langkah yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang di semua bidang, khususnya di bidang politik, sosial, ekonomi, dan budaya, untuk menjamin perkembangan dan kemajuan perempuan sepenuhnya, dengan tujuan untuk menjamin mereka melaksanakan dan menikmati hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok atas dasar
persamaan dengan laki-laki. Selain itu dalam pasal 4 (a) disebutkan juga untuk membuat peraturan khusus sementara yang bertujuan untuk mempercepat persamaan laki – laki dan perempuan. Dan dalam hal ini Indonesia sebagai pihak yang ikut meratifikasi konvensi tersebut, membuat Undang – undang Politik yang menjamin keterwakilan perempuan minimal 30% dalam UU No.22 Tahun 2007 tentang penyelenggaraan pemilu, UU No.2 tahun 2008 tentang partai politik, dan UU no. 10 tahun 2008 tentang pemilu. Namun demikian dalam Undang – undang yang disebutkan diatas tidak disertakan sanksi konkrit, apabila pihak yang bersangkutan (parpol peserta pemilu) tidak memenuhi quota 30% seperti yang telah ditetapkan.

Selain itu dalam UU perkawinan ada pengaturan relasi yang tidak seimbang antara laki – laki dan perempuan. Seorang perempuan yang telah menikah, dalam hal ini disebut juga dengan isteri tidak diperbolehkan menghibahkan suatu barang tanpa ijin dari suami, membuat akta atau perjanjian tanpa ijin tegas dari suami, tidak diperbolehkan menghadap hakim tanpa bantuan suami, dan sama sekali tidak ada aturan kebalikannya (suami tidak diperbolehkan melakukan hal yang sama tanpa ijin isteri). Dalam UU tersebut jelas terlihat perempuan yang telah menikah berkurang derajatnya dimata hukum.

Hal – hal tersebut diatas merupakan beberapa contoh mengenai adanya benturan dalam Undang – undang di Negara kita. Benturan atau tabrakan dalam berbagai Undang – undang yang ada antara usaha penghapusan diskriminasi dan pelanggengan diskriminasi itu sendiri menunjukkan adanya ketidakseriusan pemerintah dalam melakukan upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan lewat produk hukumnya. Belum ditambah lagi dengan implementasinya dalam kehidupan masyarakat yang masih menggunakan budaya patriarkhi, membuat perempuan semakin termarginalkan dalam segala aspek kehidupan baik pendidikan, ekonomi, politik, sosial maupun budaya.

Harapannya konvensi yang sudah diratifikasi sejak 25 tahun yang lalu dalam UU no. 7 tahun 1984 benar – benar dijalankan dengan tidak adanya benturan atau tabrakan dalam UU yang ada dengan melakukan pembaharuan dan peninjauan hukum beserta kebijakan - kebijakan pelaksanaannya, terus melakukan upaya-upaya untuk pembentukan perundang-undangan baru atau penyempurnaannya melalui “reformasi hukum, yakni, pembaharu an sistem hukum secara mendasar dengan memperbaiki apa yang dipandang jelek atau salah dari sistem hukum tersebut
agar menjadi benar dan lebih baik dalam rangka mewujudkan cita-citakehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berasaskan keadilan dan tanpa diskriminasi


ANALISA PELAKSANAAN UURI NO 23/ 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Oleh: Ifana Ro’aeta (Mahasiswa STIA Pembangunan Jember)

Jika kita mengingat kasus Suyatmi di tahun 1997, kasus besar dan kontroversial yang menjadi salah satu pemicu didesakkannya RUU PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam rumah Tangga) untuk segera disahkan. kasus – kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga seperti halnya yang dialami oleh suyatmi, dewasa ini masih banyak dialami oleh perempuan – perempuan di seluruh Indonesia baik sebagai isteri, anak, keponakan, cucu, menantu, ataupun pembantu rumah tangga.

Meskipun Undang – undang RI no. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga sudah berlaku selama 5 tahun akan tetapi masih banyak kasus – kasus kekerasan dalam rumah tangga yang tidak mendapat penyelesaian, keadilan, dan perlindungan secara hukum bahkan banyak juga yang sama sekali tidak terungkap, karena :
1. Persoalan – persoalan dalam rumah, termasuk KDRT dianggap sebagai masalah keluarga yang tidak bisa dicampuri oleh orang luar.
2. Karena struktur sosial dan budaya, banyak perempuan yang tidak tahu dan memahami hak – haknya sebagai isteri, perempuan, dan juga manusia.
3. Masih adanya anggapan oleh pihak – pihak tertentu bahwa kekerasan yang dilakukan oleh suami bukan merupakan pelanggaran HAM perempuan sebagai Manusia.
4. Pihak Kepolisian yang kurang responsif terhadap kasus – kasus KDRT yang dilaporkan, hal ini terbukti dengan kurang seriusnya pihak Kepolisian dalam menanggani kasus – kasus tersebut dan banyaknya kasus – kasus KDRT yang tidak segera diproses.
5. Dakwaan – dakwaan yang diajukan oleh pihak kejaksaan dalam kasus – kasus KDRT tidak didasarkan pada keadilan gender.
6. Kurangnya kepekaan pengadilan terhadap hak – hak perempuan.
7. Tidak adanya batasan hukuman minimum dalam kekerasan fisik, psikis, dan penelantaran rumah tangga hingga bisa saja dijatuhi hukuman yang sanggat ringan, semuanya hanya berdasarkan pada pertimbangan hakim yang belum tentu memiliki keadilan Gender serta peka terhadap hak – hak perempuan. Padahal seperti halnya banyak kita ketahui banyaknya kasus – kasus serupa yang menyebabkan trauma, cacat fisisk, dan juga mental.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa UU PKDRT sendiri belum begitu berpihak pada korban, dalam hal ini khususnya perempuan yang pada kenyataanya lebih banyak menjadi korban. Selain itu posisi serta makna perempuan yang dilekatkan dalam struktur sosial dan budaya pathriarkhi telah memaksa banyak perempuan diam, pasrah, dan menerima kekerasan yang dia alami dalam rumah tangganya dianggap sebagai nasib, suratan takdir dan parahnya lagi dianggap sebagai suatu hal yang wajar. Oleh karena itu direkomendasikan untuk :
1. Adanya sosialisasi yang lebih luas lagi terhadap semua pihak dan golongan mengenai HAP ( Hak Azasi Perempuan), HAM (Hak Azasi Manusia), serta UU PKDRT agar kasus – kasus KDRT dapat diminimalisir, atau bahkan terhapuskan.
2. Respon positif serta tindakan dan putusan yang berdasarkan keadilan Gender dari pihak – pihak penegak hukum, baik Kepolisian, Kejaksaan, maupun Pengadilan.
3. Ada batasan hukuman minimal untuk semua bentuk kekerasan. Tidak hanya kekerasan seksual, tapi juga kekerasan fisisk, psikis, dan ekonomi (penelantaran rumah tangga).
4. UU no.23 th 2004 tentang PKDRT pasal 5 poin (d) direvisi menjadi kekerasan Ekonomi, karena kekerasan Ekonomi memiliki makna serta cakupan yang lebih luas dan penelantaran rumah tangga sudah termasuk didalamnya.
5. Masyarakat hendaknya lebih peka terhadap kasus – kasus KDRT yang ada disekitarnya, dan untuk tidak takut ataupun ragu untuk melaporkan kasus tersebut pada pihak yang berwajib.


PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA
Oleh: Fitriyah Fajarwati (Mahasiswa FH UJ)

Dalam dimensi baru akhir-akhir ini muncul berbagai bentuk kejahatan. Salah satunya kejahatan perdagangan orang atau trafficking, dimana korban nya mayoritas perempuan dan anak. Perdagangan manusia ini merupakan suatu bentuk kejahatan yang terjadi baik ditingkat lokal suatu negara maupun melibatkan antar negara. Perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak merupakan pelanggaran berat HAM karena korban diperlakukan seperti barang dagangan yang dibeli, dijual, dipindahkan dan dijual kembali serta dirampas HAMnya sampai pada resiko kematian. Pendapatan dari trafficking per tahunnya mencapai Rp 32Trilyun dibandingkan dengan kejahatan lainnnya.

Mengingat perbuatan perdagangan orang pada hakikatnya merupakan kejahatan transnasional dan merupakan pelanggaran terhadap harkat dan martabat manusia. Bahkan dalam UNODC dikemukakan bahwa perdagangan orang merupakan suatu kejahatan kemanusiaan (human trafficking is a crime againts humanity). Saat ini Indonesia mempunyai Undang-Undang nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor:28) sebagai upaya memberikan perlindungan hukum, baik secara langsung maupun tidak langsung bagi korban dan calon korban agar tidak menjadi korban. Disamping itu juga Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Transnational Organized Crime dengan Undang-undang No. 5 tahun 2009. Dengan diratifikasinya Konvensi PBB tersebut, berarti Indonesia telah benar-benar merupakan bagian dari upaya penanggulangan tindak pidana perdagangan orang.

Dengan keluarnya UU PTPPO, menjadi sebuah acuan dalam rangka melakukan pemberantasan perdagangan orang karena sebelumnya pengaturan dalam KUHP belum menjangkau subjek hukum secara luas. Subjek hukum pelaku perdagangan orang yang diatur dalam UU PTPPO sangat luas yaitu perorangan dan korporasi. Korporasi dapat dikenai sanksi apabila terbukti melakukan kejahatan perdagangan orang sebagaimana diatur didalam Pasal 15 UU PTPPO. Disamping itu juga undang-undang terlihat berpihak pada korban dengan memberikan restitusi dan rehabilitasi guna untuk perbaikan kesejahteraan korban.

Berdasarkan data dari Badan Reserse Kriminal POLRI, kasus trafficking meningkat sedangkan yang dapat di proses hanya sekitar 20%-60%.

Namun terlepas dari semua itu masih menjadi catatan dan mungkin harus dikaji ulang mengenai isi Pasal 50 ayat (4) UU No. 21 tahun 2007 karena hal ini dapat dijadikan celah bagi pelaku untuk tidak memenuhi restitusi mengingat sanksi pengganti denda cukup ringan. Sedangkan penderitaan yang diterima korban cukup berat hingga dapat menyebabkan kematian seperti yang terjadi akhir-akhir ini.
Kasus trafficking ini tidak akan bisa diberantas jika sistem ekonomi nasional tidak dibenahi. Perempuan miskin karena negara ini salah mengatur ekonominya. Melihat pengalaman korban, banyak perempuan yang ditraffic berkali-kali karena tidak punya alternatif lain lagi. Karena susah mencari pekerjaan di kampung sedangkan biaya hidup mahal, maka perempuan terpaksa bekerja disektor publik yang sekaligus menanggung beban domestik sedangkan kekuasaan tetap pada laki-laki.

Rekomendasi:
1. Perubahan paradigma sistem ekonomi nasional maupun global
2. Mengkaji ulang isi Pasal 50 ayat (4) UU No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
3. Implementasi Undang-undang no.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang secara serius
4. Himbauan kepada masyarakat jangan tergiur dengan tawaran pekerjaan yang menjanjikan gaji yang menggiurkan
Literatur:
- Dra. Sumarni Dawam Rahardjo, MPA. Strategi KNPP Dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Orang, Seminar Nasional Fakultas Hukum Universitas Jember, 27 Juni 200 9
- Prof. Dr. M. Arief Amrullah, S.H., M.Hum. Politik Hukum Pidana Perlindungan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Seminar Nasional Fakultas Hukum Universitas Jember, 27 Juni 200 9
- Brigjend Pol. Drs. Bachtiar H. Tambunan, S.H. Strategi Polri dalam Pemberantasan Tindak Pidana Perdangan Orang. Seminar Nasional Fakultas Hukum Universitas Jember, 27 Juni 2009
- Swara RAHIMA. Dulu Perbudakan, Kini Trafficking. No.22 Th VII Agustus 2007



UU PERKAWINAN SUDAHKAH BERPIHAK PADA PEREMPUAN?
Oleh: Siti Mahdiatul Umroh (Mahasiswa STIA Pembangunan Jember)

Dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 pasal 4 ayat 2 perlu di timjau kembali hal ini dikarenakan, memberikan peluang pada seorang suami untuk melakukan poligami dan penyebab-penyebab seorang suami melakukan poligami sangat meyudutkan dan merugikan perempuan seperti isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Hal ini dapat dibuktikan dengan tidak adanya aturan tertulis bagi seorang suami jika suami tersebut mandul. Kita ketahui bahwa dasar sebuah perkawinan bukanlah untuk memperoleh keturunan saja melainkan untuk mewujudkan keluarga yang bahagia sesuai dengan pasal1UU perkawinan Tahu 1974. Pasal ini
Dalam kehidupan sehari-hari hal ini (pasal 4 ayat 2) dijadikan alasan bagi seorang suami untuk poligami. Selain itu alasan yang sering dilontarkan bagi seorang laki-laki adalah jumlah permpuan lebih banyak dari pada perempuan jdi wajar jika seorang laki-laki beristri lebih dari satuPasal 31 ayat 3 mengenai hak dan kewajiban suami istri yaitu : Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. Dengan adanya pasal tersebut,tidak sepenuhnya dapat mengakomodir kepentingan perempuan. Hal ini dibiktikan dalam rumusan pengaturan perkawinan yang mendudukkan laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan sebagai konsekuensinya perempuan mempunyai kewajiban untuk bertanggungjawab terhadap urusan domestik rumah tangga. Dalam lingkunagan rumah tangga banyak terdadi ketidak seimbangan seperti seorang suami dengan seenaknya menyuruh-nyuruh seorang istri karena menganggap seorang ostri sebagai bawahannya. Dan di lingkungan pedesaan yang sering terjadi diskriminasi antara hak dan kewajiban antara suami ibstri seperti adanya pendapat bahwa (dalam istilah jawa) “Neroko katut Suargo nunut” jadi seorang istri haris benar-benar tunduk pada suaminya jika seorang istri tidak patuh maka kelak di hari kiamat ia akan mendapat balasan yang sangat setimpal (dilihat dari sudut pandang agama). Selain itu dengan adanya suami sebagai kepala rumah tangga menyebabkan hanya kaum pria yang berhak memegang nomor-nomor pokok wajib pajak. Akibatnya, bagi perempuan bila ingin membuka usaha akan sulit. Bahkan tidak jarang, suatu unit usaha yang dirintis istri, diambil alih sepenuhnya oleh suami ketika bercerai, hanya lantaran surat izin keluarga atas izin suami. Pada kesempatan tersebut, Meutia menekankan pentingnya mengembangkanPerempuan bahkan bukan subjek hukum yang dalam berurusan dengan hukum harus selalu didampingi suaminya. (Lihat BW buku kesatu bab V pasal 105-107)Hal ini jelas melanggar HAM, karena seseorang dipandang sama di mata hukum tidak memandang laki-laki atau perempuanRekomendasi : perlu adanya tinjauan ulang atau revisi UU Perkawinan Tahun 1974 karena terdapat pasal-pasal yang merugikan perempuan baik dalam kehidupan berumah tangga, ekonomi dan hukum. Dengan adanya revisi tersebut diharapkan akan terjadi keseimbangan suami dan istri dan akan tercipta keluarga yang bahagia

KRIMINALISASI PEREMPUAN MELALUI UU PORNOGRAFI
Oleh: Ir. Dewi Handajani (Dewan Pengurus GPP Jember)

Undang – undang no. 44 tahun 2008 tentang Pornografi merupakan salah satu Undang – undang paling kontroversial, dengan begitu banyaknya pro dan kontra sejak mulai diusulkannya hingga setelah disahkan dalam lembaran Negara. Menyita begitu banyak perhatian publik mulai dari tokoh – tokoh masyarakat (tokoh Adat), tokoh Agama, Lembaga Swadaya Masyarakat, Ormas, bahkan masyarakat awam (silent majority) pun tak ketinggalan dalam mengungkapkan opininya mengenai Undang – Undang ini, di warung – warung, sawah, pangkalan ojek, pangkalan becak, terminal, stasiun, dan juga di tempat – tempat mereka biasa bersosialisasi lainnya.
Dalam rapat paripurna DPR RI tanggal 30 Oktober 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengukuhkan UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi tepat pada tanggal 26 November 2008. Setelah itu ada beberapa kelompok masyarakat yang mengajukan Judicial Review UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi ke Mahkamah Konstotusi, diantaranya adalah ; Perkumpulan Masyarakat Sulawesi Utara, Tim Bhinneka Tunggal Ika (merupakan tim gabungan dari beberapa Organisasi), dan menurut informasi, LBH Apik dan Komponen Masyarakat Bali juga akan melakukan hal yang sama (Semai, Edisi Mei 2009).
Besarnya Kontroversi mengenai Undang – undang ini, antara lain karena :
1. UU tentang Pornografi ini dianggap sangat berlebihan, hal itu disebabkan tujuan – tujuan pembuatan UU ini sebenarnya sudah disusun oleh pemerintah dalam KUHP, UU Pers, UU Perlindungan Anak, HAM, dll.
2. Dalam Pasal 3 (b), disebutkan bahwa tujuan UU ini adalah menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni, budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk. Akan tetapi UU ini justru memunculkan ketersingungan dari banyak masyarakat adat karena Identitas budayanya dianggap sebagai materi pornografi.
3. Dalam pasal 3 (d), memakai alasan moral untuk melindungi Perempuan dan Anak yang pada akhirnya justru akan mengekang kaum perempuan.
Sepertinya permpuan adalah penyebab kemerosotan moral bangsa dikarenakan tuhan menciptakan perempuan dengan bentuk tubuh yang berbeda dengan laki – laki. Dan perempuan akan semakin bertangung jawab jika pornografi merebak. Kemudian yang jadi pertanyaan adalah Apakah bangsa ini akan bebas dari kekerasan terhadap perempuan, seks bebas, pelecehan seks, dan perkosaan, ketika perempuan menutup seluruh bagian tubuhnya.
4. Pasal 6 akan semakin memberikan peluang bagi berkembangnya pornografi, dan melahirkan lembaga moral yang akan mengawasi kehidupan pribadi seseorang.
5. Pasal 8 lebih mengkriminalkan perempuan yang sebenarnya adalah korban.
6. Undang – undang ini telah membuat Negara mengambil alih otoritas perempuan akan tubuhnya sendiri, dan itu sangat bertentangan dengan prinsip – prinsip HAM.

Kesimpulannya :
Undang – undang yang seharusnya hadir untuk mengatur dan memberikan rasa aman pada Warga Negaranya, UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, justru menyingung banyak kelompok masyarakat dari barbagai macam kalangan dengan mencederai budaya, dan hilangnya otoritas perempuan terhadap tubuhnya sendiri. Jadi perlu dilakukan peninjauan ulang terhadap pemberlakuan Undang – undang ini.



PERLINDUNGAN HUKUM HAK BURUH PEREMPUAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN
Oleh : Dian Ety Mayasari, SH., MHum.
Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Katolik Darma Cendika Surabaya

Dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari kita memerlukan pekerjaan, baik menciptakan lapangan pekerjaan sendiri maupun bekerja pada suatu perusahaan mengingat negara Indonesia merupakan negara industri yang cukup produktif dalam memproduksi barang-barang kebutuhan hidup baik untuk masyarakat Indonesia sendiri, maupun untuk diekspor ke luar negeri. Orang yang bekerja pada suatu perusahaan dikenal sebagai buruh atau pekerja. Ketentuan pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menentukan pengertian pekerja atau buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pemberian upah atau imbalan yang diterima oleh buruh menjadi tujuan penting dalam bekerja karena dengan upah atau imbalan tersebut bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Adanya pemberian upah pada buruh merupakan salah satu hak bagi buruh yang juga merupakan salah satu kewajiban bagi perusahaan untuk memenuhinya. Adanya hak dan kewajiban antara buruh dan majikan atau perusahaan dikarenakan adaya hubungan kerja diantara kedua belah pihak. Hubungan kerja antara buruh dan perusahaan ini dibuat secara tertulis dalam bentuk perjanjian kerja yang mengikat secara hukum bagi kedua belah pihak untuk melaksanakannya. Pengertian perjanjian kerja dalam pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah perjanjian antarapekerja atau buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
Berbicara mengenai hak dan kewajiban dalam bekerja, dapat diketahui bahwa buruh bukan hanya didominasi oleh laki-laki sebagai pencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup istri dan anak-anaknya. Banyak perempuan yang bekerja menjadi buruh dengan alasan bekerja untuk membantu suami dalam mencari nafkah sehingga tidak terlalu membebani suami sebagai penopang kebutuhan keluarga, selain itu ada juga alasan perempuan yang bekerja sambil mengurus rumah tangga dengan tujuan agar dapat membeli kebutuhan hidupnya tanpa meminta uang dari suami.
Beban perempuan yang bekerja lebih berat daripada beban laki-laki yang bekerja, apalagi bila ia sudah berkeluarga. Seorang perempuan yang khususnya sudah terikat perkawinan mempunyai kodrat hidup alami, yaitu haid, hamil, melahirkan, kemudian menyusui. Bisa dibayangkan bagaimana beratnya perempuan yang harus bekerja pada saat ia mengalami haid, pada saat hamil, dan pada saat menyusui. Oleh sebab itu dalam tulisan ini akan dibahas mengenai hak buruh perempuan yang harus dipenuhi sebagai kewajiban bagi pengusaha dan pengaturannya dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
Bekerja pada malam hari sangat berbahaya bagi buruh perempuan karena rawan terjadi pelecehan seksual dan hal ini menimbulkan rasa tidak aman dan nyaman dalam melakukan kerja. Sangat disayangkan dalam pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 hanya melarang pengusaha mempekerjakan buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun untuk bekerja pada pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. Lebih lanjut di dalam pasal 76 ayat (2) melarang pengusaha mempekerjakan buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja pada pukul 23.00 sampai dengan pikul 07.00. Jika diartikan lebih luas berarti pengusaha diperbolehkan mempekerjakan buruh perempuan yang berusia diatas 18 (delapan belas) tahun dan tidak hamil atau hamil namun kandungannya tidak dalam keadaan bahaya untuk bekerja pada malam hari.
Bagi pengusaha yang mempekerjakan buruh perempuan pada pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 berdasarkan ketentuan pasal 76 ayat (3) berkewajiban untuk memberikan makanan dan minuman bergizi, menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja. Pengusaha juga wajib juga menyediakan angkutan antar jemput bagi buruh perempuan yang berangkat atau pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00 berdasarkan ketentuan pasal 76 ayat (4). Penyediaan sarana transportasi ini sangatlah tepat karena pada pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00 sangat susah untuk mendapat kendaraan umum, kalaupun buruh perempuan mengendarai kendaraan sendiri sangatlah berbahaya karena jalanan yang sepi dan rawan tindak kejahatan.
Buruh perempuan berhak mendapatkan cuti haid berdasarkan ketentuan pasal 80 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, namun cuti haid hanya diberikan apabila buruh perempuan dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, sehingga tidak wajib bekerja hanya pada hari pertama dan hari kedua pada waktu haid. Dapat dijelaskan bahwa cuti haid diberikan kepada buruh perempuan hanya apabila ia mengalami sakit pada saat haid hari pertama dan kedua. Dengan demikian apabila buruh perempuan haid dan tidak mengalami sakit pada hari pertama dan kedua, berarti ia tidak dapat memperoleh hak cuti haid.
Berdasarkan pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 bagi buruh perempuan yang sedang hamil dan buruh perempuan yang baru saja melahirkan bisa memperoleh hak cuti untuk istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. Apabila buruh perempuan sedang hamil dan mengalami keguguran, maka berdasarkan pasal 82 ayat (2) ia berhak memperoleh istirahat pemulihan kesehatannya selama 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan. Sedangkan untuk buruh perempuan yang setelah melahirkan dan ingin tetap menyusui anaknya meskipun masa cuti sudah habis diberikan hak untuk menyusui anaknya pada waktu jam kerja sebagaimana ditentukan dalam pasal 83.
Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan masih adanya kekurangan dan perlu adanya perbaikan atau revisi dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yaitu dalam hal masih diperbolehkannya buruh perempuan yang berusia 18 (delapan belas) tahun keatas dan sudah berkeluarga untuk bekerja pada pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. Padahal seharusnya hal itu tidak boleh terjadi, dimana seorang buruh perempuan seharusnya tidak boleh bekerja pada pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. Dapat dibayangkan bagaimana capeknya seorang buruh perempuan setelah pulang bekerja pada pagi hari belum sempat beristirahat sudah disibukkan untuk mengurus anak-anaknya, apalagi apabila anaknya masih usia balita atau sekolah dasar yang masih bergantung pada ibunya, memasak, dan membersihkan rumah sehingga ia kurang beristirahat.
Selain itu masih diperbolehkannya oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 buruh perempuan yang dalam keadaan hamil bekerja pada pukul 23.00 sampai pukul 07.00, padahal seharusnya buruh perempuan yang dalam keadaan hamil harus lebih banyak beristirahat di rumah bukan bekerja pada larut malam meskipun keadaan kehamilannya sehat karena udara pada malam hari terasa dingin dan mengganggu kesehatan tubuh, sehingga mudah mengakibatkan sakit. Dengan ia banyak beristirahat pada malam hari dengan menghindari udara malam yang dingin, maka janin yang dikandungnya juga akan sehat.
Setelah buruh perempuan melahirkan anak, maka ia mempunyai hak untuk memberikan Air Susu Ibu (ASI) bagi baginya. Dengan memberikan ASI pada bayinya yang masih rentan terhadap penyakit, maka kekebalan tubuh bayi akan meningkat. Meski ia sudah habis masa cuti istirahat setelah melahirkan, seharusnya perusahaan memberikan fasilitas ruang khusus yang bersifat privasi untuk buruh perempuan yang ingin menyusui anaknya. Dengan demikian buruh perempuan dapat tetap bekerja tanpa mengabaikan pemberian ASI bagi anaknya.
Kita harus menghargai perjuangan buruh perempuan yang meski telah berkeluarga, mengurus suami dan anak, masih mempunyai kekuatan untuk bekerja di suatu perusahaan. Perusahaan yang mempekerjakan buruh perempuan harus mendukung pengorbanan yang telah ia lakukan karena tanpa adanya buruh perempuan tidak mungkin produksi dapat berjalan dengan baik.

Analisis Undang-Undang RI. Nomor 13 Tahun 2006 Dan Peraturan Pemerintah R.I Tahun 2008 Tentang perlindungan saksi dan korban: Keberpihakan terhadap perempuan
Oleh: Umal Khoir, SAg (anggota GPP)

Pasal 4
Perlindungan saksi dan korban bertujuan memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana.

Dalam kasus perkosaan dipengadilan saksi dan/korban tidak terlindungi, karena sering terekspose oleh media
Perlindungan saksi semestinya bukan hanya pada keselamatan jiwa semata, tapi juga perlindungan terhadap psikologi serta nama baik di masyarakat.

Pasal 5
1) Seorang saksi dan korban berhak:
l. Mendapat bantuan hukum; dan/atau.

Dalam proses peradilan pelaku perkosaan sering tidak terjerat, karena saksi dan korban tidak memahami proses hukum
Bagi korban dan/ atau saksi dalam persidangan di pengadilan tidak ada yang membantu secara hukum karena tidak mampu bayar pengacara dan korban tidak paham akan kelengkapan bukti-bukti sedangkan kejaksaan hanya membaca berkas dari hasil BAP dari kepolisian. Sehingga kelengkapan bukti kurang lengkap.

Pasal 6
Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain berhak atas hak sebagaiamana dimaksudkan dalam pasal 5. Juga berhak untuk mendapatkan:
Bantuan medis, dan
Bantuan rehabilitasi psiko-sosial.

Dalam kasus perkosaan biaya pemeriksaan visum di bebankan terhadap saksi dan/ atau korban.
Bagi saksi dan/ atau korban yang tidak mampu membayar biaya visum maka kasusnya terkendala

Pasal 14
Anggota LPSK terdiri atas 7 (tujuh) orang yang berasal dari unsur professional yang mempunyai pengalaman di bidang pemajuan, pemenuhan, perlindungan, penegakan hukum dan hak asasi manusia, kepolisian, kejaksaan. Departemen Hukum dan Hak asasi manusia, akademisi, advokat, atau lembag swadaya masyarakat.

LPSK kurang responsive terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan seperti kasus KDRT dll.
Kasus kekerasan terhadap perempuan tidak mendapat perlindungan khusus dan sehingga saksi dan/ atau korban tidak aman secara fisk dan pisikis

Dari hasil analisa UU RI No. 13/ 2006 dan Permen RI th 2008 serta implementasinya tidak berpihak pada perempuan. Karena UU tsb tidak member perlindungan secara riil kepada perempuan korban (sumber: Laporan Pencapaian Millenium Development Goals Indonesia 2007, Hal 39-40)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar